Truyen3h.Co

1 20 Twenty Spring

"Dalam gelap lilin membantumu untuk melihat. Ia mengorbankan dirinya demi memberikan setitik terang. Dibalik kebahagiaan seseorang, ada suatu pengorbanan yang dilakukan. Hujan sedang membantunya, menunjukkan tangisan rasa sakit atas pengorbanan."

***

Sebuah mobil hitam melaju dengan cepat membelah hujan yang mengguyur kota Seoul malam ini. Jam menunjukkan pukul 8 malam, dalam keadaan hujan sekalipun tidak membuat jalanan kota Seoul sepi dengan pengendara.

Mobil yang dikendarai lelaki itu memasuki area parkir sebuah apartemen mewah di area Apgujeong dan memarkirkan mobilnya di salah satu tempat kosong. Segera setelah mesin mobilnya mati, lelaki itu keluar dari sana dan bergegas menuju tempat tujuannya.

"Di luar hujan.. Aku sudah sampai.."

Doyoung keluar dari lift dengan ponsel yang menempel pada telinganya dan berjalan menyusuri lorong sepi menuju salah satu unit apartemen dimana gadisnya tinggal. Ia menekan bel apartemen itu begitu sampai dan dengan segera seseorang yang ia ajak bicara melalui telepon itu membukakan pintunya.

"Kau kehujanan?"

"Tentu saja tidak."

Gadis itu membuka pintunya lebar, membiarkan kekasihnya masuk untuk segera menghangatkan diri dalam ruangan. Tak lupa ia menutup pintunya dan segera menuju dapur untuk membuatkan cokelat panas karena udara menjadi lebih dingin akibat hujan deras di luar sana.

"Bagaimana restoranmu hari ini?"

Doyoung mendudukan dirinya di sofa ruang tengah dan menyalakan televisi. Ia segera mengganti salurannya untuk melihat drama yang biasanya ia tonton bersama kekasihnya di akhir pekan. Doyoung tidak tahu sudah tertinggal berapa episode akibat beberapa minggu ini ia sibuk dengan pekerjaan.

"Ramai, seperti biasa."

"Bukannya masih tutup 2 jam lagi?"

"Aku menitipkannya pada asistenku. Aku akan datang untuk memeriksa lagi nanti!" Jisun menghampiri Doyoung setelah selesai membuatkan cokelat panas untuk kekasihnya itu. Dia meletakkan cangkir minuman tersebut di meja lalu segera mendudukkan dirinya disamping Doyoung.

"Oppa, kita akan berkencan, bukan aku menemanimu menonton drama."

Doyoung tertawa pelan mendengar Jisun yang memprotesnya. Lelaki itu memang sering mengunjungi Jisun, tapi yang ia lakukan kebanyakan adalah menonton drama dibanding mengajak Jisun mengobrol. Sedangkan Jisun akan melakukan usaha keras untuk membuat Doyoung mengalihkan perhatiannya.

Tahu saja, paling parah Doyoung pernah sampai membuat wifi di kantornya dicabut karena ia yang menonton drama disela-sela bekerja. Sampai orang-orang di departemen produksi protes gara-gara kesulitan mengunduh aset yang dikirimkan klien untuk mereka. Memang dasar.

"Kemarilah." Doyoung memberi isyarat dengan tangannya untuk gadis itu mendekat dan menyandarkan kepalanya dibahu lelaki itu. Doyoung juga merangkul bahu gadisnya dengan pandangan lurus melihat televisi.

"Di luar hujan. Kau tahu aku malas berjalan-jalan kalau sedang begitu.."

"Aku mengerti. Bersantai denganmu seperti ini juga menyenangkan, Oppa."

"Nanti aku akan menemanimu ke restoran."

Doyoung tersenyum dan mengusak rambut Jisun gemas. Ia kembali menonton televisi dan mulai menikmati drama yang terputar disana. Sudah biasa bagi Jisun, tapi tidak masalah. Bersandar di bahu kekasihnya sudah lebih dari cukup dan menyenangkan. Apalagi sambil memandangi wajah tampan lelaki itu juga tidak akan membuatnya bosan. Tanpa sadar ia sampai dibuat tersenyum sendiri.

"Aku tahu kalau aku tampan."

"Tingkat kepercayaan dirimu memang menyeramkan, oppa." Jisun mencebik, melingkarkan tanganya pada pinggang kekasihnya. "Untung saja kau memang tampan."

Doyoung tertawa pelan, mengusap bahu gadisnya pelan tanpa mengalihkan pandangan. Jisun sedikit cemberut mendapat reaksi demikian. Bahkan dengan berkata seperti itu tidak membuat Doyoung mengalihkan pandangannya. Pria itu masih fokus menonton drama.

Jisun masih ingin mengobrol banyak dengan Doyoung. Dengan susah payah ia berusaha mencari topik pembicaraan sampai akhirnya ia terpikirkan sesuatu yang pernah dibahas kekasihnya beberapa waktu lalu.

"Oh ya, kau sudah bertemu temanmu?"

"Teman yang mana?"

"Teman yang kau ceritakan kemarin? Oppa bilang kalau dia kembali ke Korea." Jisun memainkan ujung jas yang dipakai Doyoung, menarik-nariknya sedikit kesal karena kekasihnya itu sangat menyebalkan. Bisakah lelaki itu memperhatikannya sejenak?

Doyoung melirik Jisun yang menatapnya sebal. Lelaki itu tertawa pelan dan mencubit pipi gadisnya gemas lalu mengacak poninya. Gadis itu kesal namun kemudian menyembunyikan wajahnya dibalik jas yang Doyoung pakai. Doyoung pun spontan memeluk gadis itu dan mencium puncak kepalanya sayang.

"Kau menyebalkan, oppa!"

"Selalu saja menganggapku begitu."

"Tapi itu benar!"

"Baiklah-baiklah. Tapi aku tidak bisa berhenti untuk tidak menyebalkan."

"Kenapa begitu?"

Jisun mendongak, memberikan tatapan bertanya dan kesal secara bersamaan. Doyoung menarik pelan hidung gadisnya itu dan tersenyum.

"Aku bertingkah seperti ini hanya untukmu saja."

Jisun mencibir, memukul pelan dada kekasihnya itu semakin kesal. "Kau mulai lagi!"

Doyoung tertawa puas dan kembali memeluk Jisun erat, menenggelamkan wajah kekasihnya itu dalam dadanya yang bidang. Ia seolah sedang mencari sebuah kehangatan dengan memeluk tubuh mungil gadis itu. Sekarang ia dibuat lupa dengan drama yang sedang ia tonton. Bercengkerama dengan kekasihnya lebih menyenangkan untuk dilakukan.

Doyoung semakin hari menyadari, sejak hari dimana ia melamar gadis ini, dimana ia benar-benar memantapkan hatinya untuk memilih Jisun dan menjadikan gadis itu kekasihnya. Jujur saja kalau diingat dari yang sudah-sudah, awalnya bukan Doyoung yang berjuang.

"Aku ingin membuat makan malam. Oppa tunggu sebentar, ya?"

Jisun menjauhkan dirinya dan mencium pipi Doyoung cepat lalu segera berlari ke dapur. Doyoung hanya mengusap pipinya sambil tersenyum tipis melihat kepergian gadisnya. Netranya beralih pada cincin yang melingkar pada jari kelingkingnya.

Dia sudah terikat.

Sebentar ia mengingat bagaimana Jisun yang waktu itu, seorang adik tingkat saat ia berkuliah di Melbourne yang berjuang keras untuk mendapatkan hatinya. Gadis itu tidak pernah menyerah dan berusaha untuk selalu ada di samping Doyoung, menemani waktu-waktu sulit lelaki itu. Bahkan saat kondisinya itu tak cukup baik untuk mengikuti Doyoung terus. Jisun terus berusaha mengambil simpati lelaki itu. Tak tahu seberapa banyak pengorbanan lagi yang tidak Doyoung tahu, yang jelas ia tidak pernah menyesal sudah memilih Jisun saat ini.

Wajar saja untuk menaklukan hatinya terasa sangat sulit. Selama ini Doyoung punya seseorang yang sangat mengerti tentang dirinya. Seorang perempuan yang membuatnya jadi dirinya sendiri.

"Aku tidak akan merindukanmu."

"Demi Tuhan, dari sekian banyak hal kenapa selalu hal itu yang kuingat darinya?"

Doyoung berdecak, namun dia tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum saat mengingat hal itu. Ah, memang menyingkirkan bayang-bayang sosok itu merupakan hal tersulit dari apapun yang pernah ia lakukan. Sosok itu sudah seperti bagian lain dari dirinya.

Tapi bagaimanapun, mereka tidak akan lebih dari yang orang-orang harapkan dari keduanya. Bukan hal asing lagi kalau Doyoung dan sosok itu sering mendengar dari orang-orang tentang harapan mereka agar keduanya menjalin hubungan. Sejak dulu. Bahkan beberapa adik kelas mereka sewaktu SMA selalu membayangkan hal yang terlalu jauh, seperti mendoakan keduanya menikah?

Entahlah.

Tapi karena itu mereka, Doyoung dan sosok itu tidak bisa menganggap serius hubungan mereka. Keduanya hanya menganggap pertemanan mereka sebagai ikatan murni dan tidak berniat untuk mengotorinya. Hanya sekedar itu. Mereka saja tidak sanggup untuk membayangkan jauh ke arah sana. Toh, dengan hubungan mereka yang seperti sekarang ini jauh lebih baik dari apapun.

Ia harus melakukan sesuatu untuknya. Doyoung belum menyambut kedatangan sahabatnya itu dengan layak. Sekarang, ia harus berhenti memikirkan sahabatnya itu ketika ia sedang bersama kekasihnya.

"Aku harus mentraktirnya ayam besok."

***

Sejeong memutar bola matanya malas begitu melihat rekan-rekan kerjanya tertawa puas setelah habis menggodanya. Bahkan sejak pagi tadi.

Sekarang mereka berlima sedang makan malam di kantin kantor sambil masih membahas hal yang sama. Tak tahu pastinya, yang jelas, hanya oknum bernama Ten Lee satu-satunya orang yang akan ia mintai pertanggung jawaban.

Dasar bedebah.

"Wajar saja kalau Sejeong tidak tahu, Ten! Mereka bersahabat. Sejeong sedang berada di New York. Kalau Sejeong tahu sahabat baiknya itu bertunangan, Sejeong pasti akan melakukan apapun untuk datang kesini." Seulgi meliriknya sambil menaik-turunkan alisnya. "Aku benar, kan?"

Sejeong menghela napasnya dan dengan terpaksa mengangguk. "Aku akan mengiyakan itu."

"Tapi memang Ten oppa sangat aneh. Bagaimana bisa kepikiran kalau Sejeong eonni adalah selingkuhan Doyoung oppa?" Kali ini Saerom. Gadis itu sejak tadi tak habis pikir dengan Ten yang sejak awal sudah menggunjing tentang hubungan Sejeong dan Doyoung dengan menggebu-gebu.

"Noona, lain kali kau harus berhati-hati. Kalau perlu habisi saja Ten hyung. Aku akan membantumu."

Ten melirik tajam ke arah Renjun, mengepalkan tangan ke udara yang ia maksud untuk mengancam laki-laki itu. Tapi karena itu Renjun, ancaman Ten tidak mempan terhadapnya.

"Kau benar, Renjun. Aku akan meminta bantuanmu kalau-kalau Ten berulah."

"Kim Sejeong~" Ten bergelayut pada lengannya dan Sejeong berusaha keras untuk menyingkirkan lelaki itu. Yang lain hanya tertawa heboh melihat mereka.

"Sudah-sudah. Sekarang cepatlah kalian kembali ke rumah. Sudah beberapa hari kita lembur di kantor. Saatnya mengambil waktu istirahat." Seulgi menengahi perdebatan, mengawali dengan berdiri lebih dulu.

Sudah beberapa hari tim mereka lembur di kantor, terutama Renjun. Lelaki itu hampir seminggu tidur di kantor karena harus ikut dalam proyek tim lain.

"Sampai bertemu besok."

Mereka semua saling berpamitan dan mulai berpencar ke arah yang berbeda menuju rumah masing-masing. Sedangkan Sejeong kini masih berdua dengan Ten. Ia dan lelaki itu yang memang tidak memiliki kendaraan pribadi harus menunggu sejenak mengingat diluar sana sedang hujan. Sudah hampir pukul 9 malam.

"Pulang denganku?" Sejeong melirik sekilas, Ten sedang menatapnya jahil sambil menaik turunkan alisnya. "Aku tidak akan membiarkan seorang perempuan pulang sendiri."

Sejeong tersenyum remeh. Dia menepuk pundak Ten keras dan menatap tajam lelaki itu. Jujur saja, Sejeong masih marah soal Ten yang tadi menyebarkan tentang hubungannya dan Doyoung pada rekan satu tim. Kalau yang diceritakan laki-laki itu bisa dipercaya kebenarannya maka Sejeong akan membiarkan, tapi Ten menyebarkan pada mereka kalau Sejeong adalah selingkuhannya Doyoung.

"Terima kasih atas tawarannya, Tuan Lee."

"Kau sungguh marah padaku?"

Sejeong menatap tajam lelaki itu dan mencengkeram bahunya keras. Detik berikutnya ia merangkul Ten dan mengapit leher lelaki itu diantara lengannya. Ia juga menjitak puncak kepalanya berkali-kali dan tanpa ampun.

"HEI! KIM SEJEONG HENTIKAN!"

"KAU PIKIR SENDIRI, KEPARAT! SIAPA YANG TIDAK MARAH JIKA DITUDUH BERSELINGKUH!"

Sejeong mendorong Ten dengan sekuat tenaga lalu menendang betis lelaki itu keras sebelum meninggalkannya. Ten sampai-sampai tidak sanggup berdiri karenanya. Tolong ingatkan dia kalau lain kali jangan mengganggu Sejeong berlebihan. Perempuan itu sangat menakutkan saat marah.

Sejeong berjalan dengan cepat menuju halte bus. Persetan kalau pakaiannya basah kuyup sekarang-setidaknya hujan mulai reda. Daripada harus menunggu lebih lama lagi bersama Ten, ditambah ia sungguh ingin beristirahat, memang menerobos hujan bisa menjadi pilihan yang terbaik. Juga, takutnya ia ketinggalan bus.

"Hah.. Benar-benar menyebalkan! Jika saja tabunganku cukup untuk membeli mobil!"

Sejeong mengibaskan tangannya pada bagian tubuhnya yang terkena tetesan air hujan. Demi Tuhan, kalau bukan karena kekesalannya pada Ten, ia lebih memilih menunggu disana sampai hujan reda.

Halte bus itu cukup ramai, entah karena orang-orang itu juga sama sepertinya yang menunggu bus tiba, atau hanya sekedar berteduh dari hujan. Perempuan itu mengecek ponselnya, niat hati ingin melihat jam yang tertera pada layar, tapi justru disana menampilkan foto dirinya bersama Johnny. Kalau diingat-ingat, sudah tiga hari kekasihnya ini susah dihubungi. Dia pun tidak bisa berkirim pesan terlalu lama. Sekali lagi, pekerjaan menyita waktunya.

Seo Johnny. Kekasihnya itu tipe orang yang mudah cemburu. Sejak dulu. Bahkan sebelum mereka memutuskan berkencan, Johnny secara terang-terangan memberitahu Sejeong soal sifat buruknya yang mudah curiga.

Benar saja, setiap lelaki itu cemburu, selalu dugaan-dugaan murahan yang ia pikirkan tentang Sejeong akan terucap. Tahu perjuangannya selama di negeri orang yang sudah cukup menyulitkan, ditambah ia harus rajin menghubungi Johnny.

Saat awal mereka berpacaran, Sejeong masih baik-baik saja dengan terus berusaha memahami Johnny. Lagi pula, kekasihnya itu selebihnya baik. Sangat baik. Tapi karena keadaan, lama-lama Sejeong pun juga jenuh harus menghadapi sikap kekasihnya yang seperti itu.

Hah, memikirkannya saja sudah cukup membuat Sejeong menghela napas berat. "Kenapa aku dekat dengan pria-pria menyebalkan-"

"Siapa yang menyebalkan?"

Sejeong menoleh dengan cepat begitu seseorang menginterupsi kalimatnya-yang harusnya sedang ia gumamkan untuk diri sendiri. Seseorang yang baru saja dipikirkannya itu kini sedang berdiri disebelahnya. Lelaki itu sedang menutup payung yang tadi digunakannya.

Sungguh, Sejeong tidak berharap harus bertatap muka dengan lelaki itu sekarang. Kenapa harus sekarang?

Johnny tersenyum, walaupun Sejeong melihatnya dengan datar. Terserah, niatnya baik dengan muncul dihadapan kekasihnya ini setelah beberapa waktu ia abaikan. Sudah dia bilang kemarin, dia butuh waktu sendiri. "Aku temani kau pulang."

"Aku bisa pulang sendiri."

"Niatku baik untuk menemanimu, Sejeong."

"Mm, tapi hari ini aku ingin sendiri."

"Aku akan pura-pura tidak mendengarnya."

Sejeong menghela napasnya. Bagus. Kekasihnya ini sedang dalam mode keras kepala, sama sepertinya sekarang. Kalau sudah begini siapa yang harus mengalah? Sejeong?

Iya, mungkin ia yang harus mengalah.

Angin berhembus membawa hawa dingin yang timbul akibat hujan, membuat tubuh Sejeong menggigil, ditambah bajunya yang masih basah karena terkena air hujan. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil mengusap lengannya mencari kehangatan.

Melihat Sejeong yang kedinginan, Johnny dengan peka melepas jaket denimnya dan menyampirkannya dibahu perempuan itu. Untuk menghangatkan dirinya sendiri, Johnny pilih memasukkan kedua tangannya pada saku celana jeansnya.

"Jangan keras kepala dan gunakan saja jaketku."

"Siapa juga yang mau menolak?"

Sejeong menghela napasnya lagi, mengeratkan jaket denim yang tersampir pada tubuhnya itu. Sekarang ia merasa baik. Apalagi aroma tubuh kekasihnya juga bisa ia cium dari jaket itu, memberikan sensasi tersendiri pada diri Sejeong.

Dari jauh terlihat bus yang mereka tunggu. Johnny meraih tangan Sejeong lalu menariknya tepat saat bus itu terparkir sempurna dihadapan mereka. Lelaki itu mendudukkan Sejeong pada salah satu tempat yang kosong, disampingnya menghadap langsung dengan jendela.

Selama perjalanan, keduanya memilih saling bungkam, atau mungkin sengaja. Johnny sejak tadi memperhatikan Sejeong. Kekasihnya itu dengan cuma-cuma menunjukkan kalau memang ia tidak ingin diganggu. Perempuan itu menerawang ke luar sana, terlalu tidak berminat untuk berbicara dengan Johnny sekarang. Tahu sendiri tadi ia masih kesal karena Ten.

Tapi kalau begini terus, sampai bus ini tiba di tempat tujuan, tidak ada masalah yang akan terselesaikan.

"Sejeong?" Perempuan itu bergeming, sampai kemudian ia melihat Sejeong meliriknya. "Aku minta maaf.."

Sejeong merotasikan bola matanya, memilih untuk mengeratkan lagi jaketnya dan menyandarkan kepala pada dinding bus. Disaat itulah Johnny segera mengulurkan tangannya, menjadikan telapak tangannya itu sebagai bantal untuk kekasihnya. Sejeong yang terkejut langsung menjauhkan kepalanya, melirik sang lelaki dengan tatapan tajam.

"Nanti kepalamu sakit kalau sampai terbentur."

"Aku biasanya memang seperti ini!"

Sejeong menepis tangan Johnny dan menempelkan kepalanya pada dinding bus. Namun baru sebentar, bus yang dinaikinya melewati jalanan yang tidak cukup rata dan membuatnya terpental, membentur dinding bus dengan keras. Johnny spontan menarik kepala kekasihnya itu dan mengusap-usap kepalanya.

"Sudah kubilang, kan?" Johnny mengusap-usap kepala Sejeong yang terbentur barusan dengan Sejeong yang diam membiarkan Johnny mengusap-usap kepalanya. Kalau sudah begini, mana bisa Sejeong marah lagi?

"Masih sakit?" Sejeong menggeleng pelan, sedikit mendongak agar bisa melihat wajah kekasihnya. "Syukurlah.."

Johnny menghela napasnya lega, menyandarkan kepala perempuan itu pada pundaknya lalu meraih tangannya untuk ia genggam erat. Soal berperilaku manis, Johnny memang ahlinya. Sudah Sejeong bilang, laki-laki ini masih banyak perilaku baiknya.

Sekarang, Sejeong merasa sangat nyaman dengan posisi seperti ini. Pundak kekasihnya ini memang tempat paling nyaman untuk bersandar. Aroma tubuhnya juga. Tahu tidak bagaimana jantungnya sedang berpesta di dalam sana?

Sejeong membetulkan sedikit posisi duduknya, memeluk lengan lelaki itu sambil matanya perlahan terpejam.

"Oppa.."

"Mm?"

"Kau percaya padaku, kan?"

"Tentu saja."

"Tapi kenapa kau selalu cemburu kalau aku dekat dengan temanku?"

"Kalau aku bilang.. Aku takut kehilanganmu?"

Sejeong membuka matanya, melihat lurus ke arah tangannya yang sedang digenggam Johnny, juga lelaki itu dengan lembut mengusap-usap punggung tangannya.

"Tapi aku tidak semudah itu untuk melakukan apa yang kau takutkan.."

"Aku tahu.."

"Kalau kau tahu, harusnya hal seperti ini tidak terjadi lagi. Ini bukan yang pertama. Reaksiku akan tetap sama, seperti kau juga yang terus cemburu.."

Johnny terdiam. Ia pun sadar akan sikapnya ini yang mudah sekali cemburu dengan segala macamnya. Melihat Sejeong yang dikelilingi banyak laki-laki karena lingkungan kerjanya yang memang seperti itu membuatnya tidak percaya diri.

"Aku hanya takut.."

"Rasa takutmu tidak beralasan kalau kau memang mempercayaiku."

Sejeong menegakkan tubuhnya, sedikit menjauhkan dirinya dari Johnny. Dia juga menarik tangannya, menatap sedih pada kekasihnya itu.

"Kau masih mendengarkan ucapan teman-temanmu itu?"

Johnny kini ikut menatapnya dengan perasaan bersalah. Apa yang diucapkan Sejeong adalah sepenuhnya benar. Iya. Johnny masih sering membiarkan dirinya mendengar teman-temannya yang membandingkannya dengan Sejeong. Bagaimana Sejeong yang bisa sukses, memiliki karier yang cemerlang, berbeda dengannya yang bahkan sudah memasuki usia 33 tahun ini belum memiliki pekerjaan tetap.

Wajar bukan kalau Johnny sering kehilangan percaya diri karenanya?

"Aku minta maaf.." Laki-laki itu menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Sejeong.

Sejeong mendengus pelan. Sepertinya ia harus turun sendiri untuk memperingatkan teman-teman kekasihnya ini agar tidak bicara macam-macam.

"Dengarkan aku.." Perempuan itu meraih tangan Johnny dan menggenggamnya. "Aku ini sama saja denganmu. Aku bukan dari keluarga berada. Aku juga bekerja keras demi penghasilan.." ia menjeda sejenak kalimatnya. "Kalau oppa sekarang masih seperti ini, bukan berarti kau kurang berusaha. Karena aku tahu kerja kerasmu, aku juga tidak main-main soal mendukungmu.."

"Tapi aku dan kau terlihat sangat berbeda. Aku hanya pekerja bebas. Aku masih kesulitan memenuhi keperluan ibuku dan diriku sendiri. Aku tidak bisa mengajakmu kencan dengan layak, tidak bisa mengunjungimu waktu kau di New York. Tidak ada yang bisa dibanggakan dariku, Sejeong.."

"Tapi bukan berarti aku akan meninggalkanmu."

"Banyak orang yang lebih baik diluar sana."

"Kalau begitu aku akan berkata hal yang sama. Aku bukan orang baik, oppa. Aku juga bukan seseorang yang bisa kau sebut baik."

Bus yang mereka naiki berhenti. Mereka spontan melihat pada tanda tujuan yang ada di bagian depan bus. Masih ada satu pemberhentian lagi.

"Kumohon, berhentilah berpikiran soal materi diantara kita. Masalah kita selalu sama, berputar disana.

"T-tapi.. itu sangat jelas dan sulit untukku mengabaikannya."

"Lalu kau mau apa? Berhenti?"

Setelah kalimat itu terucap, baik Johnny maupun Sejeong sama-sama terdiam. Sejeong tidak pernah mengungkapkan hal seperti itu. Sejeong selalu mengikuti alur setiap Johnny merasa kepercayaan dirinya menurun. Ia dengan sabar menanggapi Johnny sampai mereka akhirnya berbaikan. Kalau sekarang sampai begini, berarti ia sudah mulai muak dengan Johnny.

"Kau ingin seperti itu?"

"Aku pikir kau yang menginginkannya, oppa."

Tepat saat bus berhenti, Sejeong segera berdiri dan turun dari sana, meninggalkan Johnny yang terburu-buru menyusulnya. Sejeong berjalan dengan cepat menuju apartemennya yang tidak jauh dari halte, mengabaikan Johnny yang mengambil langkah lebar-lebar untuk mengejarnya.

"Sejeong! Hei! Kim Sejeong!"

Johnny meraih lengan perempuan itu dan menariknya kuat. Sejeong tidak memberontak dan hanya menunduk begitu berhadapan dengan kekasihnya. Ia tidak cukup berani untuk menatap Johnny setelah berkata demikian.

"Sejeong.." Johnny menakup wajah kekasihnya itu, menatap lekat wajah itu berusaha menenangkan. Sejeong hanya memalingkan muka, berusaha menghindari kontak mata dengan laki-laki itu. Johnny kemudian segera memeluk Sejeong erat sambil mengusap rambutnya sayang. Sejeong memilih diam saja, menikmati tubuhnya yang direngkuh erat oleh kekasihnya itu.

"Aku minta maaf.. Jangan berkata seperti itu lagi, ya?"

Johnny melepas rengkuhannya, kembali menakup wajah Sejeong dan mengusap pipi perempuan itu lembut. Ia juga menatap kedua mata kekasihnya itu dalam. Tampak jelas kekhawatiran dari kedua mata lelaki itu. Sejeong yang melihat itu tidak bisa menahan senyumannya, kemudian mengalungkan tangannya ke leher lelaki itu dan memeluknya erat. Johnny harus sedikit menunduk karena ia yang terlalu tinggi untuk digapai kekasihnya. Spontan pula Johnny ikut membalas dengan memeluk pinggang perempuan itu.

"Aku menerimamu apa adanya, oppa. Aku sama sekali tidak berpikir untuk meninggalkanmu." Sejeong melepas pelukannya, tangannya masih terkalung di leher lelakinya. "Aku sudah sangat bahagia bisa bertemu denganmu terus. Aku harap kau tidak kehilangan percaya diri lagi, oppa. Aku ada bersamamu.."

Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia. Mendengarkan kata-kata itu langsung dari Sejeong, berbeda dengan waktu lalu ia hanya bisa mendengar itu dari sambungan telepon. Perasaan leganya mencuat, memenuhi rongga dadanya yang selalu dilanda kekhawatiran. Wajah mereka cukup dekat sampai bisa merasakan deru napas masing-masing. Johnny perlahan mendekatkan wajahnya namun dengan cepat Sejeong menahan wajah lelaki itu dan tersenyum.

"Ini tempat umum."

"Lalu kita akan melakukannya di apartemenmu?"

"Haha, kau gila?"

Sejeong menjauhkan dirinya dan berjalan lebih dulu menjauhi Johnny. Laki-laki itu tertawa pelan dan segera menyusul Sejeong sambil merangkulnya. Setidaknya mereka sudah berbaikan sekarang.

***

Seperti biasa, restoran bernuansa Asia itu tidak pernah sepi pengunjung. Sudah hampir satu tahun restoran itu berdiri dimana mendapat banyak ulasan baik berkat keramahtamahan pekerjanya juga kualitas makanan yang tidak main-main. Wajar saja kalau bukan karena Noh Jisun yang merupakan lulusan terbaik dalam bidangnya, juga ayahnya yang merupakan koki terkenal.

Tentu saja ayahnya memiliki andil yang cukup besar dalam membantu Jisun mendirikan restoran ini setelah menempuh pendidikan memasak cukup lama, tapi nama Jisun di dunia kuliner juga tidak main-main. Masih muda dan pandai memasak, siapa yang tidak beruntung dengan memilikinya?

Suara bel pintu restoran berbunyi, segerombol orang berpakaian rapi masuk sambil mengobrol asyik. Lee Jeno sebagai kepala pelayan dengan tanggap segera mendatangi mereka, apalagi waktu melihat salah satunya dimana ia mengenali sosok itu.

"Kim Doyoung hyung.."

Doyoung tersenyum sambil menepuk pundak Jeno. Lelaki itu menuntun Doyoung dan rekan-rekan kerjanya menuju ruangan VIP dalam restoran itu, seperti biasanya.

"Sudah aku bilang, mengajak Doyoung hyung itu menguntungkan! Apalagi ini restoran milik pacarnya." Haechan berucap heboh, tidak melihat situasi dimana mereka masih ditengah-tengah keramaian. Jeongyeon memukul bahu lelaki itu, menyuruhnya diam.

Mereka memasuki ruang VIP restoran tersebut dan pelayan lain pun datang sambil memberikan buku menu juga pelayanan dasar yang diberlakukan restoran itu, seperti menuangkan air minum juga jamuan ringan sebagai ucapan selamat datang.

Setelah kepergian Jeno dan pelayan lainnya, juga pintu ruang VIP yang tertutup mejadikan orang-orang lepas kendali, terutama pasangan Lee, Haechan dan Seoyeon yang memang memiliki sifat yang sama-sama jahil.

"Kalian bisa tidak sih untuk tidak berisik?" Haebin menegur mereka. "Untung kita ada di ruang VIP."

"Karena kita di ruang VIP, eonni.. makanya kita bisa berisik." Seoyeon menyahut dengan bangga sampai berikutnya Jeongyeon menyenggol bahunya. Doyoung dan Taeil yang memperhatikan mereka hanya bisa menggelengkan kepala.

"Oh ya, oppa ada hubungan apa dengan perempuan di departemen produksi itu?"

Semuanya langsung menatap kearah Doyoung begitu mendengar pertanyaan Seoyeon. Lelaki itu baru saja hendak meminum airnya, untung belum sampai sebelum ia tersedak. Taeil yang tahu soal perempuan dari departemen produksi itu spontan melirik Doyoung juga dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Dia temanku."

"Tapi kalian terlihat sangat dekat, hyung." Bagus, sekarang Lee Haechan ikut dalam percakapan. Memang kedua orang bermarga Lee ini selalu memiliki pola pikir yang sama.

"Kalian sering membicarakan Doyoung dan temannya itu dibelakang, ya?" Kali ini Haebin menebak dan keduanya menunjukkan senyuman tengil.

"Bukankah kalian juga sering melihat Doyoung hyung makan di kantin dengan temannya itu?" Haechan tidak mau kalah. Memang semua orang yang ada di tempat itu sekarang sering melihat Doyoung yang mengobrol dengan temannya itu.

"Mereka itu teman-"

"Aku kenal dengannya. Dia teman SMPku dan Doyoung dulu." Jeongyeon segera menyahut saat Taeil hendak bicara. Sekarang mereka yang terkejut.

"Kalian teman SMP?" dan keduanya mengangguk kompak menanggapi pertanyaan Haebin. "Kenapa tidak terlihat seperti itu?"

"Aku memang tidak begitu kenal dengan Jeongyeon. Aku juga baru tahu belum lama kalau kita berdua di SMP yang sama. Tapi temanku itu dekat dengan Jeongyeon."

"Iya. Kami sekelas. Dia dan Doyoung bersahabat sejak lama, jangan heran kalau mereka dekat. Ah, memang Doyoung dan temannya itu terkenal sewaktu di sekolah dulu."

Mereka semua mengangguk kompak begitu Jeongyeon mengakhiri kalimatnya. Perempuan itu melirik Doyoung yang sedang menatapnya, seolah menyampaikan terima kasih melalui sana.

Tidak berapa lama makanan pesanan mereka datang, bersama dengan Jisun dengan pakaian santainya. Walaupun begitu, peluh pada keningnya jelas terlihat kalau sebelumnya gadis itu baru selesai bekerja.

"Selamat malam.." Jisun menyapa teman-teman Doyoung lalu segera menghampiri kekasihnya itu yang tersenyum senang begitu melihatnya. Taeil harus menggeser duduknya agar sepasang kekasih itu bisa duduk bersebelahan.

"Eonni? Kau tahu teman dekat Doyoung oppa yang baru saja bekerja di perusahaan kami?"

Semua kompak menatap Seoyeon tajam, seolah sedang memperingatkan agar gadis itu tidak terlalu banyak bicara. Termasuk Haechan. Dia memang suka mengganggu teman-temannya ini, tapi untuk hal yang lebih mengarah ke adu domba, maaf itu bukan caranya.

"Kim Sejeong itu, kan?" Jisun menjawab, diikuti senyuman ramahnya. "Doyoung oppa sudah bercerita kemarin."

Seoyeon mengangguk, sedikit kecewa karena tidak mendapat reaksi yang ia inginkan. Jisun dengan tenang menanggapi ucapannya, membuat Doyoung yang duduk disampingnya tersenyum bangga. Lelaki itu mengusap pelan rambut kekasihnya sayang.

"Kalian romantis sekali.." Haebin berkata dengan penuh kekaguman.

"Hei! Makanya segera cari pasangan!" Mereka tertawa menanggapi Taeil. Satu lagi, diantara Taeil dan Haebin juga tidak pernah akur walaupun keduanya memang sama-sama memiliki watak yang tenang.

"Doyoung cukup banyak berubah. Setahuku waktu dia muda, dia tidak begitu jauh berbeda dengan Haechan."

"Wah, Doyoung hyung pernah nakal juga?"

"Kau mengaku kalau dirimu nakal?" Semua menertawakan Haechan.

"Jangan membuka aibku, Jeongyeon."

"Tapi dulu memang begitu waktu aku melihatmu." Jeongyeon mendenguskan senyum tipis. "Kau jadi lebih terkendali setelah berpacaran dengan Jisun."

Doyoung tersenyum tipis, melirik Jisun yang juga tersenyum begitu tulus dengannya. Jeongyeon berkata yang sebenarnya, dia pun sadar. Setelah mengenal Jisun, Doyoung menjadi laki-laki yang jauh lebih baik, berperilaku lurus jauh dari dirinya di masa lalu.

Sekali lagi ia cuma bisa berterima kasih karena Tuhan sudah mempertemukannya dengan Jisun.

***

To be Continue...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen3h.Co