Truyen3h.Co

1 20 Twenty Spring

"Kalau sebuah kenangan ada untuk dilupakan, untuk apa membuat suatu pertemuan dan ikatan?"

***

"Ibu, aku minta maaf. Sepertinya aku belum bisa berkunjung."

Sejeong duduk dihadapan komputernya sambil sesekali membetulkan kacamatanya yang turun. Setelah kemarin ia bisa beristirahat satu hari, sayang sekali besoknya harus sudah mendapat tumpukan proyek pekerjaan baru. Kali ini saja ia punya kesempatan kembali ke rumah, tiba-tiba perusahaannya mengirim surel tentang sebuah proyek, mendadak. Memang luar biasa.

Sampai-sampai niatnya untuk mengunjungi orang tuanya di Yeosu harus tertunda sekali lagi. Padahal setelah sampai di Korea, Sejeong sama sekali belum sempat mengunjungi orang tuanya. Beruntung ponsel zaman sekarang sudah canggih.

"Jangan lupa untuk makan."

"Aku tidak akan lupa, Bu.."

Sejeong mengangkat satu kakinya ke atas kursi, menjadikannya tumpuan untuk tangannya. Penampilannya cukup berantakan dengan rambutnya yang tergerai juga poninya ia kucir. Ponselnya dalam mode loudspeaker, sambil bekerja juga ia mendengarkan ibunya yang bicara melalui sambungan telepon.

"Apa pekerjaanmu sangat banyak?"

"Sangat banyak."

"Kau bahkan belum lama kembali dari New York dan hanya mengurus pekerjaan."

"Setidaknya aku tidak lupa padamu, Bu. Aku masih menjawab panggilanmu sekarang."

"Haha, kau benar. Apa aku mengganggu?"

"Tidak. Aku bisa bekerja sambil mengobrol denganmu. Aku tahu jika ibu sedang merindukanku kan?"

"Benar-benar! Kau semakin banyak bicara sekarang!"

Sejeong tertawa. Pandangannya fokus menyelesaikan pekerjaan sambil mendengarkan ibunya mengeluh tentang ayahnya yang akhir-akhir ini suka mengoleksi koran-koran bekas, lalu adiknya yang semakin bertingkah tidak jelas dan membuat ibunya kewalahan. Sejeong akui, keluarganya memang punya kepribadian yang aneh. Atau mungkin memang setiap keluarga seperti itu?

"Oh ya, Sejeong?"

"Iya, Bu?"

"Kalau kau berkunjung besok, tidak perlu mengajak laki-laki itu, ya?"

Sejeong mengernyitkan keningnya. Kalimat yang ibunya ucapkan itu berhasil membuatnya menghentikan sejenak pekerjaan. "Siapa?"

"Johnny."

"Kenapa tiba-tiba?"

"Kau tahu sendiri sejak dirimu cerita soal dia dan hubungan kalian, ibu tidak suka."

Perempuan itu menghela napasnya. Ini waktu yang tidak tepat untuk membahas hal itu. Dengan malas Sejeong meraih ponselnya lalu keluar dari kamar. Tiba-tiba ia ingin minum sekaleng bir.

"Ibu, jangan membahas ini sekarang, aku mohon."

"Aku akan berhenti membahasnya. Aku hanya ingin mengatakan itu saja selagi ingat."

Sejeong meletakkan ponselnya pada meja dapur, menuju kulkas dan mengeluarkan satu kaleng bir dari dalamnya. Ia segera meminum bir itu hingga beberapa teguk.

"Kau minum?"

Sejeong berusaha mencerna minumannya yang melewati kerongkongannya, memberikan efek menyegarkan bagi dirinya. "Hanya satu."

"Haruskah aku menelpon Doyoung supaya tidak membiarkanmu minum?"

"Ibu? Daripada Doyoung, kenapa ibu tidak berusaha menyukai calon menantu ibu saja?!"

"Siapa? Kalau itu Doyoung, ibu tidak perlu berusaha."

"Ibu?!"

Tanpa sadar Sejeong meninggikan suaranya. Bahkan setelah itu ia dengan kesal sampai meminum habis birnya, membuka kulkas kembali untuk mengambil kaleng berikutnya. Setelahnya ia kembali ke kamar dengan sambungan telepon masih terhubung walaupun keduanya memilih saling bungkam. Sejeong juga tidak berniat mengakhiri panggilan ataupun memulai percakapan kembali. Ia hanya meletakkan ponselnya itu di meja dan kembali melanjutkan pekerjaan.

"Sejeong?"

"Mm?"

"Bagaimana kabar Doyoung? Sudah lama dia tidak menghubungi ibu. Apa dia sibuk, ya?"

"Wah, dia benar-benar seperti anakmu."

"Jangan mengalihkan pembicaraan!"

"Dia baik, Bu! Sangat baik."

"Kau bertemu dengannya di Seoul? Dia satu kota denganmu sekarang. Jangan bilang kalau kau juga tidak sempat bertemu dengannya?"

Sejeong berdecak pelan. Bagus saja. Kalau sudah membicarakan Doyoung, ibunya ini tidak akan berhenti. Bagaimana reaksinya kalau ibunya ini tahu ia dan Doyoung sekarang satu kantor?

"Mm.. Ibu?" Sejeong menjeda sejenak ucapannya. "Dia satu kantor denganku."

"Siapa?"

"Doyoung."

"SERIUS?!"

Sejeong sampai harus menutup telinganya. Bahkan melalui ponsel saja teriakan ibunya terdengar sangat berisik, benar-benar berisik. Bagaimana bisa ibunya terdengar lebih bahagia begitu tahu ia dan Doyoung satu kantor dibanding waktu ia bercerita kalau ia akan tinggal di Korea lagi?

"Ibu jangan berlebihan.."

"Ibu sangat senang! Berarti kalian sudah bertemu, kan? Kalian kan sudah lama tidak bertemu."

"Iya, aku sudah bertemu dengannya."

"Astaga! Aku benar-benar bahagia kau sudah bertemu Doyoung lagi. Hei, harusnya kalian saja yang menjalin hubungan! Kau dan Doyoung kan sudah lama saling mengenal.."

Sejeong tiba-tiba termenung cukup lama. Fokusnya hilang, apalagi setelah ibunya kembali menyinggung soal dirinya dan Doyoung yang seharusnya menjalin hubungan. Tak tahu lah, sudah berapa kali ia memberitahu ibunya kalau mereka memang tidak berminat, tertarik satu sama lain saja tidak.

Benar, kan?

Apalagi satu fakta saat ini, seperti yang diberitahukan Ten padanya tempo hari. Ah, Sejeong baru ingat kalau dia belum sempat menanyakan ini langsung pada Doyoung.

Soal Doyoung yang sudah bertunangan.

Ibunya bahkan tidak mencoba untuk menyukai kekasih Sejeong saat ini. Ibunya selalu berbicara hal yang tidak mengenakkan dan selalu berharap jika ia dan Johnny untuk mengakhiri hubungan saja. Ibunya seolah tidak mau paham dan peduli, Johnny juga orang yang sangat baik.

"Sejeong? Hei? Kau mengabaikan ibu?!"

Perempuan itu tersadar dari lamunannya. Setelahnya ia menghela napas dan membuka kaleng bir yang ia bawa sebelumnya, kemudian meneguk sebagian isinya dengan terburu-buru.

"Kau minum lagi?!"

Sejeong tidak mengindahkan ucapan ibunya. Perhatiannya justru lebih terfokus pada sebuah bingkai foto yang terpajang di mejanya. Perlahan tangannya meraih foto itu sambil mengusap bagian kacanya. Sepasang netranya itu menatap sendu kearah sana.

"Ibu.."

"Ada apa? Kenapa suaramu serak?"

"Doyoung sudah bertunangan.."

"Kau.. bercanda?"

"Mungkin ibu bisa tanyakan sendiri padanya. Dia tidak pernah berbohong padamu."

"Ibu harap kau bicara begitu bukan karena aku yang tidak menyetujuimu dengan Johnny."

Sejeong merotasikan matanya malas. "Aku tutup."

"Hei-"

Sejeong segera memutus panggilan itu secara sepihak, lalu meletakkan ponselnya sembarangan dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dengan frustasi ia mengusap wajahnya, sedang berusaha menyadarkan diri sendiri.

"Tidak-tidak. Kau sudah lupa itu Sejeong. Kau sudah memiliki Johnny. Mengerti?"

Perempuan itu mendongak. Seketika perhatiannya tertuju pada setiap foto yang memang selalu ia pajang, terjajar rapi pada meja kerja dan dinding kamarnya. Kembali ia menghembuskan napas berat.

"Brengsek.."

Sejeong mengacak rambutnya kasar, menyembunyikan wajahnya dibalik rambutnya yang berantakan. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya. Tangannya mengepal kuat, sebisa mungkin ia berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis.

Ia meraih semua foto-foto yang terpajang itu, dengan kakinya ia menarik sebuah kotak kardus yang terletak di bawah mejanya lalu melempar semua foto itu kesana. Bahkan setelahnya ia menendang kardus itu untuk mengembalikannya ke tempat semula. Dengan langkah lebar ia keluar dari kamar tersebut dan membanting pintunya keras.

Mungkin malam ini akan dia habiskan untuk minum bir sampai mabuk. Hanya itu jalan satu-satunya untuk membuatnya sadar dan kembali melupakan hal yang barusan terlintas dalam benaknya.

Terutama hal yang sudah lama ia simpan rapi pada dasar hatinya.

***

Doyoung mengambil langkah lebar-lebar begitu memasuki jam makan siang, melewati lorong yang menghubungkan area kantor departemen manajemen dan produksi.

"SEJEONG!!"

Semua perhatian tertuju padanya. Doyoung baru saja membuka lebar pintu ruangan departemen produksi. Pandangannya mengedar untuk melihat sekeliling, mencoba menemukan seseorang yang sedang dicarinya bahkan sejak tadi pagi dia menginjakkan kaki di kantor. Tidak peduli dengan pandangan orang-orang terhadapnya sekarang.

"Ada apa, Doyoung?!"

Doyoung menoleh. Taeyong si kepala departemen produksi muncul-kebetulan juga ia hendak keluar menuju departemen keuangan. Doyoung segera mendatangi Taeyong, mencengkeram kedua bahu laki-laki itu.

"Sejeong dimana?!"

"Siapa?"

"Sejeong! S. E. J. E. O. N. G-"

"Iya iya, kau tidak perlu mengejanya."

"Dia dimana? Cepat!"

"Dia masih ada meeting dengan klien! Kau ada perlu apa dengannya? Biar aku sampaikan nanti padanya."

Doyoung terdiam sejenak dan menghela napasnya. Dia menepuk pundak Taeyong dan tersenyum tipis. "Tidak ada. Maaf sudah mengganggu kantor-"

"Selamat siang.."

Doyoung menoleh dengan cepat. Segerombol orang baru saja masuk dan menyapa setiap orang, salah satunya ada Sejeong disana. Tak ingin mengulur waktu, segera Doyoung mendekati perempuan itu.

"KIM SEJEONG!!" Doyoung menarik bahu Sejeong, mencengkeram erat keduanya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan heboh. "HEIIIII!!!"

Sejeong hanya menutup kedua matanya saat Doyoung tiba-tiba berteriak di depan wajahnya. Saking kesalnya, spontan perempuan itu sampai menendang kaki Doyoung dan membuatnya mengaduh kesakitan.

"Kau gila?!"

Bentak Sejeong kemudian, sambil lalu memperhatikan sekitar. Semua orang melihat kearahnya, memberi tatapan beragam tergantung bagaimana mereka berpikir tentang keduanya. Sejeong menatap laki-laki itu tajam dan berbalik meninggalkan Doyoung untuk kembali ke kubikelnya.

"Hei! Tunggu!"

Doyoung menahan lengan Sejeong kuat sampai-sampai berhasil membuatnya berbalik. Perempuan itu kemudian menepis tangan Doyoung dan menatapnya tajam.

"Apa-apaan kau ini?"

"Aku butuh bicara.."

"Aku mohon jangan sekarang.." Sejeong berucap dengan suara berbisik. Ia melihat sekitarnya dan sedikit mendekat kearah Doyoung. "Kalau kau ingin bicara tentang ibuku, kumohon jangan sekarang, oke?"

Doyoung menggeleng. "Aku hanya butuh bicara sebentar saja, Sejeong-"

"Doyoung-ssi?"

Doyoung terdiam seketika saat Sejeong mulai memanggilnya dengan formal. Bahkan perempuan itu kini menatapnya penuh rasa kesal. Mau tidak mau Doyoung harus mengalah sebentar. Mungkin memang bukan waktu yang tepat jika mengajak sahabatnya ini bicara disaat dia baru kembali dari meeting.

"Nanti waktu pulang kita harus bicara."

Setelah memukul lengan Sejeong keras, Doyoung segera berbalik meninggalkan ruangan tersebut. Sepeninggalan lelaki itu, Sejeong segera diserbu beberapa orang disana-yang memang tidak tahu soal hubungannya dengan Doyoung, dan memberikannya banyak pertanyaan. Terutama tentang dirinya yang bisa dekat dengan Doyoung yang terkenal dingin kepada perempuan.

***

Satu persatu orang di tempat itu berpamitan dan meninggalkan ruangan. Semakin malam, ruangan tersebut semakin sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja yang memang lebih suka menginap dan bekerja di kantor dibanding pulang ke rumah. Mungkin Sejeong menjadi salah satunya untuk hari ini.

Dia bahkan tidak memasuki kamarnya setelah semalam. Dia benar-benar membuat dirinya mabuk malam itu, lalu datang ke kantor pagi-pagi dengan masih memakai baju tidurnya. Ten yang malam itu menginap di kantor sampai terkejut melihat Sejeong yang datang dengan kondisi berantakan. Ah, semenjak bekerja disana, Sejeong meninggalkan beberapa pakaian kalau-kalau ia atau timnya mendadak harus menginap.

"Kau sudah merevisinya?"

Ten mengintip dari balik kubikel perempuan itu. Sejeong hanya meliriknya malas dan memberi isyarat agar Ten melihat sendiri.

"Aku malas bergerak."

Sejeong hanya memberikan jari tengahnya sebagai balasan dan Ten membalas dengan memberikan tanda V dengan kedua jarinya. Dengan kesal Sejeong berdiri lalu menyeret kursi beroda yang diduduki Ten untuk menggesernya agar berada di sampingnya.

Wah, Sejeong benar-benar kuat.

"Kau bisa lihat sendiri, kan?"

Ten tertawa jahil, menunjukkan ibu jarinya pada Sejeong. "Terima kasih."

Sekarang Sejeong kembali melanjutkan pekerjaannya, merevisi desain produk dari klien yang tadi mereka temui dan Ten memperhatikan. Sesekali lelaki itu memberi saran. Kalau soal pekerjaan, mereka memang profesional.

"Padahal desainmu sudah bagus dan sesuai, kenapa mereka masih saja meminta revisi?"

"Entahlah. Memang tabiat seorang klien seperti itu?"

"Haha, kau benar. Eoh? Itu pacarmu menelepon."

Sejeong melirik ponselnya yang entah sejak berapa lama dia biarkan tergeletak di sisi mejanya. Sepertinya seharian ini ponsel itu diam disana. Sejeong menggeser sedikit kursinya, membiarkan Ten kali ini mengambil alih untuk membetulkan sedikit desainnya, sedangkan ia menjawab panggilan telepon itu.

"Halo?"

"Sejeong? Apa kau sudah selesai bekerja?"

Ia menghela napas. Diliriknya Ten yang sedang serius melakukan pekerjaannya. "Aku tidak pulang untuk hari ini."

"Astaga.. Apa kau sudah makan?"

"Mm.." Kalau Sejeong menjawab jujur, dia belum makan malam. Di jam 8 malam sekarang ini. "Sudah."

"Aku merindukanmu.."

Perempuan itu tersenyum tipis. "Aku juga-"

"Sejeong? Desainmu ini-"

Sejeong menoleh cepat ke arah Ten, memelototinya karena bicara disaat ia sedang menghubungi Johnny. Berharap saja kekasihnya ini tidak mendengar-

"Kau bersama laki-laki?"

Bagus. Kekasihnya mendengar. Apalagi suara penuh kecurigaan sudah bisa Sejeong rasakan. "Dia Ten, rekan kerjaku. Tapi kau tidak perlu khawatir, oppa-"

"Haruskah aku menemanimu disana?"

Sejeong menghela napasnya. Sekali lagi ia melihat ke arah Ten dengan ekspresi marah, sedang si lelaki sedang bergumam meminta maaf. Tadi hanya reaksi spontannya begitu melihat ada yang aneh dalam desain buatan Sejeong. Apalagi perempuan itu berbicara pada telepon dengan suara pelan. Ten tidak sadar kalau fokus perempuan itu tidak padanya.

"Apa perlu aku alihkan menjadi panggilan video, oppa? Disini bukan aku perempuan satu-satunya.."

"Begitu?"

"Mm.." dan ia tersenyum tipis. "Aku tutup, ya? Aku harus melanjutkan pekerjaan."

"Jangan abaikan pesanku, Sejeong."

"Iya."

Lalu panggilan itu terputus. Sejeong langsung menatap sengit ke arah Ten. Laki-laki itu hanya tersenyum polos, menunjukkan kalau dirinya memang tidak merasa bersalah.

"Hampir saja kau membuatku bertengkar dengan pacarku lagi."

"Maaf, aku tidak tahu kalau pacarmu itu mudah cemburu." Lalu Ten tersenyum mengejek. "Apa aku tidak salah? Bukankah kau tidak suka diatur?"

Sejeong dibuat berpikir sejenak, lalu mengedikkan bahunya tidak peduli. "Entahlah. Setidaknya ada yang menahanku kalau aku sering kelewatan."

Baru saja mereka hendak melanjutkan pekerjaan, Sejeong kembali mendapatkan telepon dari seseorang yang tadi siang sempat membuat kekacauan di departemen produksi. Niat hati Sejeong ingin mengabaikan-karena memang pekerjaannya masih banyak, sampai orang itu memilih datang langsung untuk menemui Sejeong.

Doyoung datang untuk menjemputnya.

***

"Sejeong?!"

Sejeong menoleh, mendapati Doyoung dan seorang gadis dalam rangkulannya sedang melambai ke arahnya. Sejeong tersenyum tipis sambil membalas lambaian tangan sahabatnya itu.

"Maaf membuatmu menunggu lama."

Doyoung menarikkan sebuah kursi untuk gadis yang diajaknya, lalu ia duduk dengan Sejeong yang ada di hadapannya. Laki-laki itu sendiri duduk di samping sang gadis.

Tadi Doyoung yang menjemput langsung Sejeong di kantornya, mengajak perempuan itu makan di salah satu kedai tteokbokki dekat kantor mereka. Karena tujuannya memang untuk mengenalkan Sejeong dengan seseorang, ia meminta sahabatnya itu menunggu sebentar sambil ia pergi menjemput seseorang itu.

"Kau sudah memesan?"

"Sudah. Tteokbokki pedas seperti kesukaanmu dan cola."

Laki-laki mengangguk sekali lalu beralih pada gadis yang duduk disampingnya. Gadis itu sedang melihat-lihat menu yang ada di kedai yang mereka datangi ini.

"Aku mau kimbab.."

Doyoung kemudian segera memanggil pelayan dan memberitahukan pesanannya. Setelah pelayan itu pergi, ia mengalihkan atensinya pada dua perempuan yang sedang berada di hadapannya saat ini.

"Oh iya, Sejeong, ini Jisun." Doyoung menunjuk Jisun dan tersenyum pada Sejeong. Jisun tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Sejeong. Sejeong membalas uluran tangan itu dan mencoba tersenyum.

"Noh Jisun."

"Kim Sejeong."

"Dia.. gadis yang bertunangan denganku, Sejeong.."

Sejeong terdiam sejenak, memperhatikan Jisun yang melempar senyum ramah padanya. Sampai kemudian ia melepas pagutan tangannya lebih dulu dan memberikan sebuah senyuman dengan terpaksa.

Sejeong merasa aneh pada dirinya sendiri.

"Maaf aku tidak memberitahumu soal ini.."

Doyoung tampak menundukkan kepala, menyesal. Sedangkan Sejeong sekali lagi hanya bisa tersenyum. "Tidak apa-apa.."

Sejujurnya suasana hati perempuan itu cukup tak baik. Tadi saja dia sudah merasa suasana hatinya memburuk, sekarang semakin buruk. Ia rasa harusnya pertemuannya dengan Doyoung yang sedang memperkenalkan kekasihnya itu adalah waktu yang kurang tepat.

"Suasana hatimu sedang buruk?"

"Kau tahu."

Doyoung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jika Sejeong tidak ingin menatapnya, apalagi dengan wajah angkuh seperti sekarang, sudah pasti ia sedang tidak dalam keadaan baik.

Apa Doyoung terlalu memaksanya kali ini?

"Oppa.. Dia baik-baik saja?"

Jisun mendekat pada Doyoung dan berbisik. Laki-laki itu terkekeh pelan dan mengusap rambut kekasihnya sayang.

"Dia tadi tidak seperti ini. Tidak perlu takut. Dia orang yang sangat baik.."

Dari sudut matanya, Sejeong bisa melihat perlakuan manis Doyoung pada kekasihnya itu. Sangat damai dan menyenangkan. Dari yang dia lihat, Jisun orang yang sangat ramah dan anggun. Tak tahu juga kalau dia bersama orang yang ia kenali.

Ah, juga. Sejeong iri dengan Jisun yang tetap bersikap biasa saja walaupun ia dan Doyoung dekat. Andai saja Johnny bisa seperti Jisun-

Tidak.

Perempuan itu menggelengkan kepala, mencoba menepis itu semua. Untung saja makanan yang mereka pesan akhirnya tiba. Setidaknya ada hal yang membuat Sejeong mengalihkan pikiran-pikiran jeleknya. Coba saja dia tidak lembur, satu botol soju untuk malam ini sepertinya menyenangkan.

"Oh ya, soal ibumu kemarin.." Doyoung menjeda sejenak kalimatnya. Fokusnya sedikit terpecah karena makanan yang disajikan. "Itu.."

"Apa ibuku marah-marah?" Kemudian keduanya mendongak, saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya kembali menyantap makanan. "Ibuku bilang apa saja?"

"Coba tebak!"

Sejeong menerawang sejenak. "Apa ibuku berkata kalau kau tidak menyayanginya lagi?"

"Tepat sekali!" Doyoung kemudian tertawa. "Aku sampai lupa kalau beliau itu cuma ibu dari sahabat dekatku."

Keduanya sama-sama tertawa. Kalau dipikir-pikir, orang tua mereka seperti tertukar. Orang tua Doyoung sangat suka dengan Sejeong dan sering membanggakannya, begitu juga sebaliknya.

Sejeong jadi ingin bertemu orang tua Doyoung.

"Omong-omong, walaupun tadi aku bilang kalau tidak apa-apa kau menyembunyikan pertunanganmu.." Sejeong menjeda ucapannya sejenak. "Memangnya kenapa? Maksudku, kenapa tidak kau katakan langsung?"

"Karena aku tahu kau akan nekat datang ke Korea untuk melihatku."

Sejeong tersenyum meremehkan. "Tidak perlu terlalu percaya diri.."

"Memang begitu!"

"Tapi setidaknya.." lalu Sejeong menghela napasnya. "Kau tidak tahu saja, aku sampai dituduh sebagai selingkuhanmu. Memang mulut ember itu benar-benar sialan!"

Doyoung tertawa. Sepertinya dia tahu siapa yang sedang membuat masalah. Disisi lain, tanpa sadar keduanya jadi mengabaikan Jisun. Gadis itu sejak tadi menyimak sepasang sahabat itu saling mengobrol sambil menikmati kimbab pesanannya dengan tidak berselera.

"Oppa.."

Jisun berucap dengan suara pelan, membuat kedua orang itu menoleh. Sadar kalau mereka sedang mengabaikan Jisun, mereka memasang wajah menyesal. Terutama Doyoung yang langsung meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya.

"Maaf.. Aku terlalu asyik bicara dengan Sejeong.."

Gadis itu tersenyum tipis dan menggeleng. "Tidak apa-apa, oppa.. Aku hanya mau bilang, aku harus kembali setelah ini."

"Ah, benar! Temani aku dan Sejeong sebentar lagi, ya?"

Jisun mengangguk. Mereka bertiga memutuskan untuk menghabiskan makanan saja tanpa banyak bicara.

Dari sudut matanya, Sejeong kembali melihat perhatian yang Doyoung berikan pada kekasihnya. Sekarang Sejeong diabaikan. Sejak tadi Doyoung mengajak bicara Jisun, sesekali menyuapinya, juga tangannya yang tidak lepas menggenggam tangan Jisun.

"Ah! Aku tiba-tiba teringat.." kedua perempuan itu mengalihkan perhatiannya pada Doyoung. "Apa ibumu masih sering menjodohkanku padamu?"

Sejeong mengerjapkan matanya lalu melirik Jisun yang menatap mereka kebingungan. Astaga Doyoung! Haruskah laki-laki itu bicara hal tersebut saat ada Jisun dihadapan mereka?

"Kau memang tidak pernah bisa membaca situasi, ya.." Gerutu perempuan itu pelan.

"Apa?"

"Tidak.. Kau butuh jawaban jujur atau bagaimana?"

"Bohong."

"Jawabannya, tidak."

"Bagus!"

Jisun tidak memahami situasinya. Ia melihat kedua orang itu bergantian. Menjodohkan? Doyoung dan Sejeong?

Sejeong sadar kalau Jisun sedang kebingungan, sedangkan Doyoung kembali melanjutkan makannya. Memang dasar laki-laki.

"Jisun-ssi.." Gadis itu menoleh. Terlihat sekali dari kedua matanya kalau ia butuh penjelasan. "Aku tidak tahu sebanyak apa Doyoung bercerita tentangku padamu, yang jelas kau tahu kalau aku dan Doyoung ini sudah saling mengenal sejak kecil."

Jisun mengangguk. "Lalu?"

"Itulah sebabnya ibuku selalu memintaku menjalin hubungan dengan Doyoung." Lalu Sejeong tersenyum. "Sampai sekarang, karena beliau sangat menyukai Doyoung.."

Gadis itu langsung menunjukkan ekspresi tidak suka, menatap Doyoung untuk meminta penjelasan. Laki-laki itu tampak tidak peduli, tahu kalau sahabatnya lebih pandai menjelaskan.

"Tapi tenang saja Jisun-ssi.." Jisun kembali menatapnya. Tak tahu kenapa, Sejeong merasa ada yang aneh dari tatapan gadis itu untuknya. Bukan sekedar tidak suka. "Kalau kau tidak tahu, aku sendiri juga sudah punya pasangan. Kau tidak perlu khawatir.."

"Benar." Sahut Doyoung dengan mulut penuhnya. Laki-laki itu mencubit gemas pipi kekasihnya dan tersenyum. "Aku sudah bertemu dengan pacarnya. Sejeong tidak berbohong."

"Lagian, aku tidak tertarik dengan Doyoung."

"Benar. Aku juga tidak suka dengan perempuan barbar."

"Aish!" Hampir saja Sejeong lepas kendali dengan memukul Doyoung. Kalau bukan karena Jisun. Dengan cepat ia mengubah ekspresinya. Ia tersenyum ramah pada Jisun. "Kau tidak perlu khawatir, Jisun-ssi. Jika Doyoung sudah memilihmu, dia tidak akan melihat orang lain lagi. Aku jamin itu! Aku akan mempertaruhkan kekayaanku!"

Doyoung melemparkan tisu kearah Sejeong, membuat perempuan itu membalas dengan wajah mengejek. Spontan keduanya tertawa pelan disusul Jisun yang sudah bisa masuk kedalam dunia dua orang itu. Ia ikut tertawa bersama keduanya.

"Eonni orang yang asyik, ya.." Jisun terdiam sejenak begitu sadar dengan ucapannya. Ia mendongak, melirik Sejeong yang tertawa gemas.

"Kau bisa memanggilku begitu. Kita harus cepat-cepat akrab."

Kedua perempuan itu saling melempar senyum, membuat lelaki satu-satunya bernapas lega melihatnya. Sungguh, dia senang kalau Sejeong dan Jisun bisa cepat akrab. Beruntung Sejeong orang yang tidak mudah canggung di depan orang baru, berbanding terbalik dengan Jisun yang memang selalu berhati-hati.

Suara dering ponsel terdengar. Ponsel milik Jisun. Tahu kalau sekarang restoran sedang membutuhkannya, Jisun langsung mematikan ponsel tersebut. "Aku harus kembali ke restoran dulu.."

"Aku antar-"

"Tidak, oppa! Tidak perlu. Kau menemani Sejeong eonni saja!"

"Tapi-"

"Tidak apa-apa.. Aku percaya padamu, oppa." Doyoung tersenyum dan mengecup punggung tangan kekasihnya itu.

"Aku akan mengabarimu begitu aku sampai." Doyoung mengacungkan ibu jarinya. Keduanya melepaskan genggaman tangan masing-masing. Jisun membungkuk pada Sejeong dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Sejeong dalam diam menatap keduanya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Apalagi saat Jisun mengatakan kalau ia mempercayai Doyoung, memilih untuk pulang sendiri dan membiarkan Doyoung bersamanya.

Dia iri.

"Melamun apa?!" Doyoung menyentil dahi Sejeong, membuat perempuan itu mengaduh kesakitan.

"Ada masalah? Butuh bercerita?" Keduanya saling berpandangan, tidak lama karena Doyoung langsung memahami apa yang dimau Sejeong hanya dari sana.

"Haruskah kita pesan soju?"

Sejeong tersenyum kemudian. Doyoung benar-benar tahu apa yang dia inginkan. "Terima kasih.."

Laki-laki itu tersenyum padanya, lalu mengusak rambutnya gemas. Kebiasaan. "Kau bisa habiskan sojumu dan aku akan bantu menghabiskan tteokbokkinya."

Doyoung yang menuangkan soju itu untuk Sejeong begitu pelayan memberikan itu pada mereka. Doyoung juga tidak lepas memperhatikan Sejeong sambil menikmati tteokbokkinya, memastikan kalau perempuan itu tidak akan mabuk.

Sungguh, Sejeong mengakuinya. Kehadiran Doyoung disini seolah menjadi obat tersendiri baginya. Apalagi bagaimana Doyoung dan Sejeong bisa saling memahami hanya dengan saling menatap satu sama lain. Beban pekerjaan yang tadi sempat membuatnya pusing perlahan menguap.

"Doyoung-"

"Kim Sejeong?"

Keduanya spontan menoleh dan terkejut melihat siapa yang datang. Lelaki jangkung itu berdiri tidak jauh darinya-bahkan sangat dekat. Ia menatap Doyoung dengan tidak suka, kedua tangannya terkepal.

"Oppa? Kenapa kau ada disini? Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini?"

Seo Johnny. Lelaki itu tersenyum asimetris sambil mengangkat bungkusan cake yang tadi dia beli. "Memberi kejutan, seperti yang biasa kau lakukan. Temanmu yang memberi tahu lokasimu." Tatapannya tidak lepas menatap Doyoung penuh ketidaksukaan. "Tapi justru aku yang terkejut disini.."

"Aku bisa jelaskan-"

"Jadi ini yang namanya kerja?"

***

To be Continue..

Aku nulis apa sih sebenernya? Ahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen3h.Co