Truyen3h.Co

1 20 Twenty Spring

"Semua orang berkata bahwa perasaan jatuh cinta sama menegangkannya seperti menaiki roller coaster. Tapi setelah itu kurasakan sendiri, rasanya lebih menegangkan dari itu."

***

Noh Jisun, 21 Tahun, Melbourne

Ruang pertemuan itu tampak penuh sesak akan manusia, juga orang-orang berlalu-lalang saling menyapa dan melemparkan beberapa obrolan. Momen pertemuan ini memang paling mereka tunggu-tunggu sebab kapan lagi bisa berkumpul dengan teman-teman satu kewarganegaraan?

Setiap awal tahun ajaran baru selalu diadakan pertemuan di sana, dimana seluruh mahasiswa asal Korea Selatan berkumpul dalam satu forum. Dalam kampus ini bisa dibilang ada 10 sampai 30-bahkan lebih-orang korea yang di terima setiap tahunnya.

Namun suasana hangat itu rasanya tak berlaku bagi sosok gadis berpenampilan anggun yang sejak tadi diam di tempat duduknya, menerawang pada setiap orang yang melewatinya. Ada satu dua orang yang mendekat, namun si gadis cepat-cepat menunduk sambil meremas rok berwarna hijau pucat panjangnya.

Kalau begini, mungkin ia akan kembali seperti dirinya yang sebelum-sebelumnya. Bergaul dengan orang baru adalah hal yang paling menakutkan baginya.

"Kenapa diam saja?"

Gadis itu cepat-cepat mendongak begitu sadar ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Kedua matanya mengerjap pelan berusaha mengingat siapa sosok yang entah mengapa tidak asing baginya.

Sosok lelaki yang berdiri di hadapannya itu tertawa pelan, beralih duduk di samping sang gadis yang spontan menggeserkan tubuhnya. Sikapnya itu tidak menyinggung si lelaki sama sekali sebab ia hanya menanggapi dengan tawa ringan.

"Tenang-tenang! Aku disini hanya ingin menyapamu! Aku tidak mungkin membiarkan anggotaku sendirian seperti ini!"

Barulah seketika gadis itu sadar siapa lelaki tersebut. Ekspresi wajahnya spontan kebingungan sebab ia yang bertingkah sembarangan pada senior sekaligus ketua himpunannya. Lelaki itu yang tadi memberi sambutan di depan saat pembukaan acara.

"M-maafkan aku, sunbae.."

"Hei~ Tidak apa-apa! Aku sangat mewajari sikapmu!" Lalu ia mengulurkan tangan sambil tersenyum hangat. "Aku pikir mungkin kau tidak tahu namaku, perkenalkan, aku Kim Doyoung!"

Gadis itu sempat ragu sejenak, perlahan membalas jabatan tangan lelaki bernama Doyoung itu. Percaya atau tidak, ini pertama kalinya seseorang mendatanginya untuk mengajak berkenalan. "Noh Jisun.."

Doyoung tersenyum puas. "Kenapa kau terlihat takut, hm?"

Jisun sempat tersentak sebab Doyoung yang tidak berbasa-basi sama sekali. "Er..."

"Kami semua disini adalah keluarga barumu.." ucap Doyoung dengan suara pelan, memalingkan wajah untuk melihat sekitarnya. Tangannya melambai begitu menemukan seseorang yang ia pikir bisa dipercaya untuk menemani Jisun.

"Kalau kau ada perlu atau membutuhkan bantuan, kau bisa mendatangiku."

"Ada apa, oppa?"

Seorang gadis datang dan berdiri di dekat mereka. Doyoung menunjuk Jisun dengan ibu jarinya dan tersenyum. "Dia satu jurusan denganmu. Kau bisa bantu dia bergaul dengan yang lain, kan? Gyuri?"

Jisun yang tidak paham situasinya hanya mengerjapkan mata beberapa kali, menatap Gyuri yang juga memberikan respon ramah begitu mendapat perintah dari Doyoung. Gadis itu melambaikan tangan pada Jisun sambil memperkenalkan dirinya.

"Aku pergi dulu. Aku sudah membantumu mendapatkan satu teman. Mereka tidak menakutkan, kok.." lalu Doyoung tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya. "Salam kenal, Noh Jisun."

Jisun tidak bisa melepaskan pandangan dari Doyoung yang berjalan menjauhinya dan Gyuri. Lelaki itu kembali berkeliling untuk menyapa satu persatu anggota baru lainnya dalam himpunan yang ia pimpin sekarang. Rasanya waktunya berhenti sebab memperhatikan sosok Doyoung yang sudah seperti pahlawan untuknya.

"Kau pasti terkagum dengan Doyoung oppa, kan?" Ucapan Gyuri membuyarkan lamunannya, membuat Jisun menoleh dan tersipu malu karena ketahuan sudah memperhatikan senior yang menyapanya tadi. "Aku dengar semalam dia menghafal sedikit data mahasiswa baru yang masuk dalam forum."

"Benarkah?"

Gyuri mengangguk semangat. "Itulah sebabnya dia bisa menyapa ramah semuanya dengan mudah. Dia tidak akan membiarkan siapapun sendirian! Ah, kau juga jangan sungkan padaku, ya? Aku siap membantumu!"

Lagi-lagi Jisun kembali menatap ke arah Doyoung dan tanpa sadar ia tersenyum tipis melihat senyum lepas yang ditunjukkan lelaki itu.

Kim Doyoung adalah orang pertama yang menyapanya saat ia tidak berani menyapa orang lain. Ia satu-satunya berani mengajaknya bicara disaat yang lainnya memilih ragu-ragu dan berakhir menjauh.

Dan Doyoung orang pertama yang membuatnya jatuh hati pada seseorang saat ia sedang tidak bisa mempercayai siapapun.

***

Jalanan kota, gedung-gedung tinggi perkotaan juga pepohonan hijau itu ia lewati dengan cepat. Padahal ini masih masuk pagi hari, rasanya panas terik matahari seperti sudah masuk waktu siang hari. Begitu bus yang ia naiki itu berhenti pada tempat tujuannya, buru-buru ia melangkah turun dari sana. Ia hampir saja terlambat untuk bekerja.

Baru saja menginjakkan kaki pada aspal penampang jalan begitu ia sadar seseorang berdiri tak jauh dari hadapannya. Kedua matanya terbelalak sempurna lalu menghampiri seseorang tersebut.

"Oppa?"

Seo Johnny tersenyum, "aku tepat waktu dengan menunggumu disini!"

Sejeong tidak bisa menyembunyikan senyumannya begitu ia bertemu kekasihnya ini. Keduanya dengan alami berjalan beriringan menuju kantor tempat perempuan itu bekerja.

"Ini." Johnny menyodorkan sebuah kotak bekal pada Sejeong, tersenyum manis. "Tadi aku membuat sarapan dan aku membuatkannya untukmu."

"Kau tidak perlu repot-repot.." Sejeong memberengut kecil sambil menerima pemberian Johnny untuknya, memasukkan itu ke dalam tas jinjingnya. "Tapi terima kasih.."

Johnny tersenyum puas, mengusak pelan poni kekasihnya itu gemas. Ah, rasanya sudah lama sekali ia tidak berlaku manis pada Sejeong.

Tahu seperti apa detak jantungnya sekarang? Seperti rollercoaster yang berputar-putar dengan heboh. Johnny benar-benar merasa berdebar melihat senyum manis kekasihnya ini dan itu tidak akan pernah berubah.

Pagi tadi memang ia berinisiatif menunggu Sejeong di halte dekat kantornya, sekaligus ia juga akan berangkat bekerja di cafe tempat Yuta.

Sudah lama tidak melihat Sejeong, apalagi dalam durasi waktu selama ini. Kalau Johnny boleh jujur mengatakan, ia sangat merindukan kekasihnya. Sangat.

Walaupun dalam benaknya sedang mempertanyakan sesuatu, soal pembahasannya bersama Chungha beberapa waktu lalu. Rasanya ingin mengajak Sejeong bicara soal topik itu.

Langkah keduanya terhenti begitu mereka sampai di depan kantor Sejeong. Mereka sama-sama saling berhadapan sambil melempar senyum.

"Aku masuk dulu.."

Johnny bergumam pelan dan mengangguk, mengusap sekali lagi rambut kekasihnya sebelum ia beranjak lebih dulu menjauhi Sejeong.

"Oppa.."

Johnny berbalik begitu Sejeong memanggilnya dan dengan cepat menangkap tubuh mungil perempuan itu. Sejeong tiba-tiba memeluknya sampai ia harus membungkuk supaya tinggi badannya bisa diraih dengan mudah oleh kekasihnya itu.

"Ada apa?"

"Semangat untuk pekerjaanmu.. Kau sudah bekerja keras.."

Lelaki itu tertegun cukup lama, tanpa sadar mempererat dekapannya pada tubuh mungil kekasihnya. Tidak peduli dengan beberapa orang yang lalu-lalang memperhatikan mereka, yang terpenting Johnny merasa sangat bahagia mendengar dukungan dari Sejeong.

Hal kecil yang diberikan kekasihnya itu berhasil memulihkan energinya.

Mereka melepas pelukan masing-masing dengan Sejeong yang susah payah berjinjit supaya bisa mencapai tinggi badan kekasihnya. Kedua tangannya menakup wajah lelaki itu, menatap kedua matanya yang memberi semangat. Sejeong tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pipi lelakinya.

"Aku pergi dulu!"

Johnny menatap kepergian Sejeong dengan perasaan bahagia, melambaikan tangan sama seperti Sejeong yang melambaikan tangannya riang. Johnny tidak bisa menahan tawanya melihat Sejeong yang bertingkah kekanakan di depannya.

***

"Hari ini kenapa kau ingin aku menemanimu ke kantor Doyoung oppa?"

Jisun tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Gyuri terhadapnya, mempererat gandengan tangannya sambil keduanya melangkah dengan santai menuju kantor tempat lelaki itu bekerja.

"Hanya.. Aku butuh teman."

Gyuri terdiam, cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya dengan tersenyum. Ia berusaha untuk mencairkan suasana sebab ia tahu apa yang membuat Jisun sedang dalam mood yang tidak baik.

Terakhir yang ia tahu, orang tua Jisun baru saja pulang. Ia juga tahu hubungan Jisun dan orang tuanya tidak begitu baik. Melihat Jisun sekarang, sepertinya memang terjadi sesuatu waktu kemarin mereka makan malam bersama.

Keduanya memasuki kantor itu, berbicara pada resepsionis untuk menanyakan keberadaan Doyoung-karena Jisun tidak mengabari lelaki itu sama sekali.

Baru saja sang resepsionis itu hendak menelepon Doyoung, lelaki itu muncul tak jauh dari sana. Ia baru saja keluar dari suatu ruangan bersama segerombol orang lainnya.

Jisun tidak menyapa ataupun memanggil Doyoung yang melewatinya. Fokusnya hanya tertuju pada bagaimana kedua orang itu mengobrol dengan santai bersama sekumpulan orang lainnya.

Sampai pandangan mereka bertemu. Doyoung tersenyum lebar melihat Jisun lalu segera menyingkir dari gerombolan orang tersebut.

"Jisun-ah?" Lelaki itu spontan mengusak poni rambut Jisun gemas, melirik Gyuri juga sambil menyapa. "Tumben sekali kalian datang berdua, ada apa?"

"Ini.." lalu Jisun menyodorkan sebuah tas cantik berwarna biru muda dengan bekal makan siang di dalam. "Makan siang, seperti biasa.."

"Terima kasih.."

Jisun mengernyit melihat bagaimana lebarnya senyum lelaki itu. Ah, rasanya sudah cukup lama ia tidak melihat Doyoung tersenyum seperti ini.

"Kau mau langsung kembali ke restoran? Apa kalian naik angkutan umum? Ingin aku antar?"

"Wah, aku baru ini mendengarmu serinci itu, oppa." Gyuri mengutarakan langsung apa yang Jisun pikirkan pula. Gadis itu meliriknya, tersenyum tipis berterima kasih karena Gyuri sudah menyampaikan isi pikirannya.

"Mm? Memang kenapa?" lalu Doyoung meraih satu tangan Jisun dan menggenggamnya. "Kau buru-buru? Mau menemaniku makan siang?"

Jisun sekali lagi melirik Gyuri. Mereka seolah sama-sama paham dengan isi pikiran masing-masing. Lalu Jisun kembali menatap Doyoung sambil menggeleng pelan.

"Aku kesini hanya mau mengantar itu."

Gadis itu melepas pelan genggaman tangan Doyoung padanya, membungkuk sekilas bersama Gyuri lalu berjalan menjauhi lelaki itu.

Doyoung mengernyit menatap kepergian Jisun, berpikir keras sebab tidak biasanya gadis itu bersikap dingin padanya. Namun ia sama sekali tidak ada niat pula untuk menyusul, sekadar bertanya misal, alasan Jisun berlaku demikian.

Mungkin hanya sedang dalam mood yang tidak baik?

Jisun dan Gyuri menaiki taksi yang mereka panggil barusan. Duduk bersebelahan dengan saling bungkam, pula Jisun menggenggam erat tangan Gyuri.

"Kenapa kau menolak tawaran Doyoung oppa?"

"Karena aku sedang bersamamu, eonni.."

"Aku tidak masalah kalau kembali ke restoran lebih dulu-"

"Aku sedang tidak ingin kalau-kalau nanti dia mengabaikanku lagi.."

Gyuri tertegun sejenak, menggenggam tangan Jisun sambil mengusap-usap punggung tangannya pelan.

"Sudah cukup kemarin mereka mengabaikanku, aku tidak mau diabaikan lagi.."

Dugaan Gyuri benar. Jisun pasti kembali diabaikan oleh ayah dan ibunya sendiri. Bagaimana kedua orang tua itu tidak bertanya kabar dari anak semata wayang mereka, membahas soal reputasi dan kembali pada itu lagi. Menyakiti perasaan Jisun tanpa mereka sadari.

Gyuri menghela napasnya berat, merangkul Jisun untuk menenangkan. Semoga saja suasana hatinya cepat membaik setelah ini.

***

Johnny tidak tahu harus berbuat apa, hanya menatap kosong pada layar benda bersegi panjang dalam genggamannya itu sambil membaca tulisan yang tertera disana berulang kali. Rasanya ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

'Selamat anda lolos tahap akhir seleksi pengajar dalam lembaga pendidikan kami-'

Masih sama seperti sebelumnya, ia terus memastikan kalau yang dibacanya ini benar. Bahwa ia diterima di tempat mengajar itu.

"Aku diterima.." ucapnya lebih pada dirinya sendiri, juga tak tahu sudah kalimat yang ke berapa kali itu terucap dalam 10 menit terakhir.

Kepalanya mendongak, menatap gedung tinggi di hadapannya sambil meremas ponsel dalam genggamannya itu. Senyumannya melebar sebab rasa bahagia yang kemudian meluap keluar.

"Kim Sejeong.. Kekasihmu sudah punya pekerjaan tetap.." lirihnya lagi pada diri sendiri.

Rasanya tepat sekali dimana hari ini ia sedang berdiri di depan gedung apartemen tempat Sejeong tinggal. Niatnya ingin berkunjung untuk menemani Sejeong yang lembur dengan pekerjaan. Ini akan menjadi berita besar!


Johnny segera menuju unit apartemen tempat Sejeong tinggal dan tanpa berbasa-basi pula ia langsung masuk ke sana. Tak jauh dari sana ia langsung bisa melihat Sejeong di ruang tamu. Perempuan itu terlonjak, membuatnya yang sedang serius menatap laptop harus memecah fokus karena kunjungan tiba-tiba itu.

Lelaki itu memang tidak memberitahu Sejeong kalau ia akan datang, tapi ia tahu kalau Sejeong sedang berada di rumah setelah memastikan. Sebab selama dua hari kemarin Sejeong lembur di kantornya.

Sejeong mengabaikan lelaki itu walaupun ia terkejut. Dia berusaha kembali memfokuskan diri pada pekerjaan. Sudah beberapa hari ini dia lembur menyelesaikan proyek dan deadline yang diberikan sudah semakin dekat. Ah, belum cukup tadi di kantor harus ikut beberapa kali rapat, apa dia tidak bisa barang sebentar bersantai?

"Apa aku mengganggu?" Johnny segera menuju dapur untuk menyiapkan bahan makanan yang dibelinya. Lelaki itu memang sudah menyiapkannya, ia akan memasakkan makan malam untuk Sejeong, merasa yakin kalau memang kekasihnya itu belum makan malam.

"Tidak sepenuhnya. Maaf aku tidak bisa menanggapi lebih."

Johnny mengangguk, entah Sejeong melihatnya atau tidak. "Aku pinjam dapur!"

"Mm.. Gunakan semaumu."

Sebenarnya dia ingin mengajak Sejeong makan malam di luar-sedikit bersantai karena tahu perempuan itu menghabiskan waktu di depan layar terlalu lama, tapi tahu kalau akhir-akhir ini kekasihnya itu sangat sibuk, jadilah Johnny berinisiatif datang untuk membuatkan makan malam. Juga, ia harus memberitahukan soal ia yang diterima bekerja di tempat kursus.

Johnny memperhatikan setiap sisi dapur itu. Hanya ada dua gelas bekas kopi di pantry. Memang kebiasaan buruk kekasihnya. Ah, tapi mereka berdua sama saja sebenarnya. Sama-sama suka minum kopi.

Bulgogi dan japchae, dua makanan yang cukup menggugah selera. Dia akan memasak itu dan menyiapkan beberapa banchan yang tadi ibunya sempat titipkan untuk Sejeong. Beruntung sekali perempuan itu bukan tipe orang yang pilih-pilih soal makanan.

Sambil dirinya memasak, ia bisa mendengar erangan frustasi dari arah ruang tamu. Sesekali berusaha menahan tawanya. Pasti laptop milik kekasihnya itu bermasalah lagi. Padahal dia memiliki cukup uang untuk membeli yang baru, namun lebih memilih menservicenya saja.

"Kau masak apa?" Johnny menoleh. Sejeong tiba-tiba mendatanginya di dapur. Perempuan itu hanya ingin membuat kopi lagi karena dia bosan jika tidak ada sesuatu yang menemaninya.

"Jangan buat kopi lagi!"

"Terakhir." Johnny menoleh dan menatap tajam perempuannya sampai Sejeong menunjukkan satu bungkus terakhir kopi miliknya. Walaupun ia hendak memprotes tapi pada akhirnya ia membiarkan Sejeong membuat kopi lagi dan kembali ke ruang tamu untuk melanjutkan pekerjaan.

Waktu berlalu begitu cepat. Johnny juga tidak perlu waktu lama untuk menyelesaikan masakannya. Semua tersaji dengan rapi di meja makan dengan dua mangkuk nasi hangat untuknya dan Sejeong.

Johnny memanggil Sejeong untuk makan walaupun kekasihnya itu sempat menolak. Dia tetap harus mengisi perutnya untuk berperang dengan pekerjaan. Mereka berdua duduk saling berhadapan.

"Kenapa kau harus repot-repot memasak jika bisa membelinya di luar?"

"Aku hanya ingin memberi sebuah perhatian.."

Sejeong mendengus kecil sambil tersenyum. "Terima kasih.."

Johnny tidak segera menyantap makanannya, yang ada ia justru menatap lurus pada Sejeong yang sedang menikmati makan malam dalam diam. Merasa diperhatikan, perempuan itu mendongak sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Ada apa?"

Lelaki itu menggeleng, memilih meraih kedua tangan Sejeong dan menggenggamnya.

"Aku diterima bekerja." Butuh waktu sejenak bagi Sejeong untuk memprosesnya sampai kemudian ia sadar dengan apa yang Johnny bicarakan.

"A-apa?"

"Tempat kursus yang waktu itu, aku diterima di sana."

"Benarkah?!!" Sejeong berekspresi senang. Dia balas menggenggam tangan Johnny dan tersenyum lebar. "Sungguh? Saat ini kau sudah memiliki pekerjaan tetap?"

Johnny mengangguk, membuat senyuman perempuan itu semakin merekah. Sejeong menarik tangannya dan mulai memegang sumpitnya lagi untuk melanjutkan makan.

"Aku akan makan semua dengan lahap. Maaf, aku tidak bisa memberikan apapun.."

"Tidak apa-apa.. dengan kau memakan masakanku dengan nikmat saja sudah menjadi hadiah untukku."

"Ah, oppa.. Harusnya aku yang memberi kejutan.."

Johnny tertawa lagi, mengulurkan tangan untuk mengusak rambut Sejeong gemas. "Tidak apa-apa.. Sudah, makanlah!"

Sejeong menepatinya. Dengan lahap ia memakan masakan dari Johnny. Disamping dirinya yang memang lapar, dia juga menghargai kerja keras kekasihnya itu. Setelah sekian lama, Johnny tidak perlu lagi susah-susah bekerja di banyak tempat seperti sebelumnya.

Sebagai guru kursus, itu tidak masalah. Johnny bisa melakukan tugasnya dengan baik sebagai guru sesuai dengan apa yang ia cita-citakan sejak lama. Setidaknya dengan ini Johnny bisa lebih mempertimbangkan untuk mulai mengikat Sejeong dengan lebih serius.

Johnny tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya melihat betapa lahapnya Sejeong menyantap makanannya. Dia merasa kerja kerasnya sangat dihargai. Ia bisa melihat betapa tulusnya Sejeong memberikan apapun yang bisa ia lakukan.

Setelah menghabiskan makan malam itu dengan minim percakapan, Sejeong harus kembali menyelesaikan pekerjaannya. Johnny juga membersihkan piring-piring tersebut dengan cepat dan menemani Sejeong di ruang tamu sambil bermain ponsel.

Dia cukup bosan. Setiap bersama Sejeong selalu itu yang dirasakannya. Bukan, bukan karena dia tidak menyukai Sejeong atau apa. Hanya saja perempuan itu selalu tidak banyak bicara setiap bersamanya. Ditambah lagi pekerjaannya kali ini bisa menjadi alasan. Sejeong tidak suka diganggu saat bekerja.

"Sejeong?"

"Mm?"

"Boleh aku ke kamarmu? Aku takut mengganggumu kalau menonton disini.."

Perempuan itu berhenti sejenak, menoleh ke samping kirinya sambil menatap datar pada Johnny.

"Tunggu sebentar.."

Sejeong tampak bangkit lalu segera memasuki kamarnya. Diam-diam Johnny tersenyum kecil sambil mendekat ke arah kamar itu.

Ada sedikit celah yang ditinggalkan Sejeong. Ia bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan perempuan itu sebelum mengizinkannya masuk ke sana. Walaupun memang usia hubungan mereka bukanlah penentu untuk mengizinkan masing-masing bisa keluar masuk kamar yang merupakan area pribadi dengan mudah.

Tapi yang dilakukan Sejeong pada kamarnya selalu menimbulkan banyak prasangka bagi Johnny.

"Eoh? Kau sejak tadi disini?"

Johnnu tersenyum tipis begitu Sejeong keluar dari sana dengan wajah terkejutnya. Perempuan itu mencoba melirik ke dalam, memposisikan diri sebagai Johnny yang bisa melihat ke arah dalam.

"Apa kamarmu sangat kotor?"

"Mm.. Aku terlalu malas membersihkan pakaianku. Kau bisa masuk sekarang!"

Sejeong hendak kembali ke ruang tamu sebelum akhirnya Johnny menahan lengannya, membuat mereka kembali saling berhadapan. Kening perempuan itu berkerut, berusaha menebak apa yang ingin diucapkan lelakinya.

Sempat ragu sejenak, namun kapan lagi ia bisa bertanya hal ini? Apalagi ia melihatnya langsung dengan matanya sendiri. "Kau.. Masih menyimpan fotonya, ya?"

Mereka sama-sama tertegun, terutama Sejeong yang tidak bisa lagi mengendalikan ekspresi wajahnya. Ah, memang Johnny melihat semuanya. "Kau mengintip?"

"Pintunya terbuka. Aku tidak tahu kalau bisa melihat apa yang kau lakukan disana." Johnny tersenyum tipis, menatap teduh pada kekasihnya. "Kenapa masih memajang fotonya?"

Sejeong berusaha tetap tenang, kembali mengendalikan ekspresi wajahnya tetap tersenyum biasa. "Hanya.. Memang aku tidak boleh memajang foto sahabatku?"

Demi Tuhan, Johnny rasanya ingin meledak sekarang. Melihat betapa santainya Sejeong berbicara itu seperti mengejeknya. Kedua matanya terpejam, berusaha tetap tenang sebelum akhirnya menatap Sejeong kembali.

"Memajang fotonya sebanyak itu? Seorang sahabat sekaligus mantan kekasih?"

Sejeong tidak bisa menahannya lagi. Ekspresi wajahnya berubah total, menatap Johnny dengan tidak percaya. "Apa kau bilang?!"

"Mantan kekasih?" Johnny berusaha untuk bersikap tenang dan tersenyum. "Memangnya kenapa?"

"Kau tahu darimana?"

"Hanya..?"

"Kau tidak mengganggu teman-temanku, kan?"

"Baru kali ini kau menuduhku macam-macam, Sejeong."

"Aku sudah melarangmu mencari tahu, Seo Youngho!"

Kali ini Sejeong benar-benar tampak marah, menatap kesal Johnny yang masih mempertahankan senyum ramahnya. Tapi kalau ia ikut marah juga, mereka tidak akan bisa mengobrol dengan santai lagi.

"Lalu kenapa kau tidak menceritakannya?"

"Sebaiknya perbaiki sikapmu dulu sebelum bertanya seperti itu!"

Johnny menghela napasnya, "aku bicara dengan santai padamu-"

"Tapi kau mengusik privasiku!"

Sejeong menepis tangan Johnny kuat pada lengannya, menatap lelaki itu dengan marah. Sudah susah-susah ia menyembunyikan rahasia ini, berharap memang ia sendiri yang akan memberitahu Johnny suatu hari nanti. Tidak-tidak. Dia tidak akan marah pada siapapun itu yang memberitahu Johnny, sebab ia tahu bagaimana lelaki itu memaksa kalau sesuatu sedang mengusik rasa penasarannya.

Johnny masih sama menatap teduh kekasihnya, berusaha menyembunyikan ekspresi kecewa yang tumbuh semakin besar dalam benaknya.

"Apa kau tidak bisa menceritakannya.. karena aku mudah cemburu?"

"Iya."

"Kalau begitu aku minta maaf.." Sejeong tersentak, ekspresinya melunak, tiba-tiba ia merasa bersalah melihat Johnny yang menunduk dengan wajah menyesal. "Maaf dengan mengungkit masa lalumu.."

Mereka seperti kembali pada kenangan lama, dari pertama mereka saling mengenal, mengingat kencan pertama mereka begitu Johnny mengungkapkan perasaan pada Sejeong untuk pertama kalinya, lalu hari mereka akhirnya resmi berpacaran setelah perjuangan panjang Johnny sampai berhasil membuat Sejeong luluh padanya.

Johnny selalu punya banyak hal yang Sejeong sadari itu bahwa ia memang kagum pada sosoknya.

Memang tidak banyak pertemuan mereka lakukan dalam beberapa jangka waktu itu, namun rasanya kenangan itu begitu indah sekaligus menyakitkan untuk diingat.

Baik bagi Sejeong maupun Johnny.

Perasaan mereka beradu. Sama-sama menegangkan seperti ketika kereta roller coaster bergerak turun dengan cepat.

Lelaki itu menarik pelan lengan Sejeong, menghadapkan kekasihnya itu untuk menatap lurus padanya. Sejeong berusaha untuk tidak membalasnya, namun keseriusan yang ditunjukkan Johnny dari kedua matanya berhasil membuatnya berpaling.

"Dari saat pertama kali kita berpacaran, apa saat itu kau masih memiliki perasaan pada Doyoung?"

Sejeong ketakutan. Dia takut untuk menjawab pertanyaan yang ia sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang ia rasakan waktu itu? Dia tidak bisa mengingatnya.

Melihat Sejeong yang hanya diam saja membuat Johnny mendenguskan senyum kecut, merasa tahu dengan jawaban hati kekasihnya.

Sejeong memang belum melupakan Doyoung waktu itu.

"Kalau aku bertanya itu lagi sekarang, apa perasaan itu masih ada?"

Sungguh demi apapun, ia benci dengan pertanyaan itu. Sejeong benci pertanyaan tentang perasaannya. Tapi satu hal yang paling ia takuti, dia tidak mau menyakiti Johnny dengan jawabannya.

"Sepertinya aku bisa menebak jawabanmu.." lalu ia mengembuskan napas pasrah. "Aku ingin menyangkalnya, senang juga melihatmu terus berusaha yang terbaik untukku." Sekali lagi ia menghela napas, tersenyum tipis setelahnya. "Apa selama ini kau hanya berpura-pura?"

"Sungguh, kumohon.. Jangan lanjutkan ini.."

Sepertinya tadi baru saja mereka bersenang-senang setelah Johnny memberitahu kalau ia sudah punya pekerjaan tetap, mana sempat Sejeong berpikir kalau saat ini pula ia harus mengungkapkan itu semua pada Johnny.

Apalagi reaksi kekasihnya ini, benar-benar jauh dari apa yang dibayangkannya. Selama ini ia selalu takut kalau Johnny marah-marah, tapi melihat Johnny bersikap lembut dan membicarakan ini dengan tenang sungguh lebih menyakitinya.

Sejeong melepaskan cengkraman Johnny pada bahunya, sedikit memalingkan wajah sebab sudah tak sanggup kalau harus menatap lelaki itu lama-lama. "Sekarang kau sudah tahu semua masa lalu yang selalu ingin kau ketahui.."

"Mm.."

"Tapi untuk sekarang aku tidak ingin membahasnya lebih." Ia melihat Johnny sekilas, kembali memalingkan wajah. "Pekerjaanku sudah menunggu."

"Kalau begitu aku akan pulang saja.."

"Oppa?"

Johnny tertawa pelan sambil mengusap lembut kepala Sejeong. "Tidak apa-apa.. Kau pasti butuh ruang untuk bekerja dengan tenang."

"Tapi-"

"Aku juga ingin menenangkan pikiranku.."

Sungguh Sejeong semakin merasa bersalah. Tolonglah, Seo Johnny. Tolong marah saja! Perempuan itu sama sekali tidak bisa harus mendapat perlakuan manis dari lelaki itu sekarang. Sekarang saja ia lebih suka kalau Johnny meluapkan kecemburuannya dibanding bersikap pura-pura baik. Dia tahu kalau laki-laki itu kecewa.

"Kau tahu kalau aku sangat mencintaimu, Sejeong.." tangan besarnya itu mengusap-usap pipi Sejeong dengan lembut, pula tatapannya amat teduh menatap perempuan itu. "Masih ada makanan di kulkas, kau bisa memanaskannya. Jangan makan mie kalau kau lapar, eoh? Istirahatlah dan kalau bisa jangan begadang. Jaga kesehatanmu.."

Sejeong tertegun di tempatnya, menatap kepergian Johnny dalam diam. Begitu pintu tersebut tertutup rapat, barulah Sejeong benar-benar bisa mengekspresikan apa yang sudah ditahannya selama beberapa waktu lalu.

Menyesakkan. Dadanya sungguh terasa sesak. Sampai ia pukul beberapa kali pun, rasa menyesakkan itu tidak hilang sama sekali.

Mengapa Johnny tidak marah? Mengapa lelaki itu tetap berkata akan mencintai Sejeong setelah tahu kalau hati kekasihnya meragu? Mengapa pula Sejeong merasa sesak dan sakit melihat Johnny seperti itu kalau ia sendiri mungkin sudah tidak memiliki rasa pada kekasihnya?

Sebenarnya apa yang dirasakan Sejeong sekarang?

***

"Di hari itu, aku sungguh ingin tahu apa yang kau pikirkan setiap menerawang jauh ke sana. Apa yang membuat dirimu tersenyum setiap melihat daun pepohonan itu jatuh, Kim Sejeong? Apa ternyata saat itu kau memikirkannya?" -Johnny

---

Seo Johnny, 31 Tahun, New York.

Setelah sekian lama menunggu momen hari ini begitu ia menginjakkan kakinya di New York. Kepalanya mendongak, melihat sekeliling di mana gedung-gedung pencakar langit mengelilinginya. Menatap dengan penuh kagum dan tidak percaya kalau ia bisa sampai ke sini.

Beruntung sekali ia punya kenalan yang mau membantunya hingga ia bisa sampai di New York.

Kali ini perhatiannya tertuju pada sebuah bangunan minimalis di tengah-tengah bangunan tinggi perkantoran. Ada rasa sedikit tidak yakin, namun memang benar adanya kalau bangunan di hadapannya ini memang tempat tujuannya.

Agensi tempat Sejeong bekerja.

Memang ini hal paling gila yang pernah Johnny lakukan. Ia bukan siapa-siapa bagi Sejeong. Bahkan ia juga tidak yakin kalau perempuan itu menganggapnya sebagai apa. Tapi karena hari ini adalah ulang tahun Sejeong dan ia sudah merencanakan sejak jauh-jauh hari untuk ini, maka lelaki itu tidak akan mundur lagi.

Ia memeriksa jam tangannya. Kalau dihitung kembali, kurang lebih 10 menit lagi jam kerja Sejeong berakhir. Tidak peduli dengan orang-orang yang sekilas melihatnya sebab Johnny yang hanya berdiri menunggu di depan pintu masuk bangunan itu.

Suara tawa yang cukup gaduh terdengar begitu sekelompok orang keluar dari sana. Salah satu diantara mereka adalah seseorang yang sejak tadi Johnny tunggu. Senyum mengembang di wajahnya.

"Kim Sejeong!"

Perempuan itu dengan cepat menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Kedua matanya membulat dengan sempurna begitu melihat Johnny berdiri tidak jauh darinya. Lelaki itu melambaikan tangan dengan riang.

Sejeong tampak kebingungan begitu teman-temannya menginterogasinya, membuat Johnny yang memantau disana ikut tertawa pelan. Tak berapa lama Sejeong menghampirinya dan teman-teman yang tadi bersamanya juga pergi.

"Bagaimana kau bisa kesini?!"

Johnny tersenyum, menyodorkan sebuah bingkisan berupa tas kantong kertas berwarna maroon. Di dalamnya lagi masih ada sebuah hadiah yang terbungkus rapi dalam kotak kado berwarna putih.

"Kejutan!"

Jujur saja Johnny tidak tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan itu sebab Sejeong hanya menatapnya datar sambil menerima bingkisan yang ia sodorkan. Perempuan itu tampak menunduk, melihat isi dari tas itu. Helaan napas keluar dari mulutnya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Secara logika aku bisa sampai ke sini karena naik pesawat dan beberapa bantuan kecil dari seorang kenalan."

Sejeong berdecak, mengeryitkan keningnya dalam. "Maksudku untuk apa? Apa kau mendapat pekerjaan disini?"

Johnny tidak bisa menahan tawanya. Tangannya terulur untuk mengacak pelan poni tipis perempuan itu. "Apa aneh kalau aku bisa sampai disini?"

"Entah." Sejeong mengedikkan bahu. "Apa karena ini kau memaksaku untuk memberi tahu alamat tempatku bekerja?"

"Mm.. Hari ini ulang tahunmu. Jadi aku memutuskan datang."

"A-apa?"

"Aku ingin mengajakmu makan malam sekaligus merayakannya.."

"Seo Johnny?!"

"Aku mohon jangan menolak.."

Sejeong tidak tahu harus merespon bagaimana lagi. Yang bisa ia lakukan hanya menghela napas pasrah sambil kemudian ikut dengan ajakan Johnny.

Mereka makan di salah satu restoran di dekat sana. Johnny juga sempat mendapat protes keras dari Sejeong karena tempat mereka makan ini menyediakan menu makanan yang sangat menguras kantong. Bahkan Sejeong baru mencoba sekali makan disana, itu pun sudah beberapa bulan lalu.

"Aku serius! Aku harus mengganti uangmu-"

"Tidak apa-apa, Sejeong.. Aku sungguh ingin mentraktirmu makan."

"Oppa-"

"Aku sudah memohon padamu untuk tidak menolak."

Lagi-lagi Sejeong tidak bisa menolaknya dan memilih ikut apapun yang ingin Johnny lakukan. Keduanya tidak banyak bicara setelahnya. Sejeong memilih bermain dengan ponselnya, sedang Johnny berusaha meredakan rasa gugupnya.

Makanan pesanan mereka datang dan keduanya memilih menikmati dalam diam. Sesekali Johnny melirik Sejeong, memperhatikan perempuan itu memastikan suasana hatinya.

Seperti biasa, Sejeong memang sangat sulit untuk ditebak.

Di New York sudah memasuki musim gugur. Daun-daun pepohonan di luar sana pun mulai berubah kekuningan, satu persatu jatuh dan memenuhi jalanan. Sejeong menatap keluar jendela, memperhatikan setiap daun yang jatuh dengan senyuman tipis di sudut bibirnya.

"Sudah musim gugur.."

Johnny tidak tahu maksud dari ucapan Sejeong, yang ia tahu hanya tatapan perempuan itu tampak tersirat kesedihan. Senyum di wajahnya sangat kontras dengan pandangannya.

"Aku dengar Central Park sangat indah saat musim gugur.." Sejeong mengalihkan perhatiannya. "Ingin kesana sekarang?"

Keduanya menuju Central Park. Sampai disana, mereka berjalan berdampingan menikmati suasana musim gugur dengan hawa dinginnya. Sejeong mengeratkan coat hitam yang ia kenakan, melihat sekeliling dimana dedaunan berjatuhan dan mengenainya. Senyuman sama sekali tidak luntur dari wajahnya.

Johnny menikmati itu semua, bagaimana ia bisa memperhatikan Sejeong yang berada disisinya. Perempuan yang sangat ia rindukan. Bertahun-tahun ia menyukai perempuan itu berharap akan balasan, perjuangannya sangat berat sebab Sejeong yang sulit untuk diraih. Sekalipun memang perempuan itu menolaknya terus menerus.

Tapi kali ini mungkin akan jadi terakhir kali ia menyatakannya.

Mereka sampai di danau Central Park, menatap airnya yang jernih bersama pantulan bulan dan bintang dari langit malam. Daun-daun masih berguguran, membiarkan angin sepoi menerbangkan anak-anak rambut mereka. Sekali lagi Sejeong mengeratkan coatnya, mendongak menatap langit gelap serta pepohonan.

"Kim Se-"

"Oppa, terima kasih..."

Sejeong tersenyum padanya. Setelah sekian lama ia benar-benar bisa melihat Sejeong tersenyum begitu tulus untuknya. Johnny tertegun di tempatnya, menatap Sejeong dengan perasaan yang menenangkan. Langkahnya mendekat, menatap lekat sosok itu dengan kedua tangan perlahan meraihnya. Susah payah Sejeong mendongak untuk bisa melihat wajah Johnny.

"Kim Sejeong.."

Johnny tidak bisa menebak apa yang dirasakan Sejeong. Perempuan itu tampak tenang, berani menatap ke arahnya yang sedang susah payah menahan gugup. Genggaman tangannya mengerat, menelan salivanya demi sebuah kalimat yang sudah berada di ujung lidah.

"Kau tahu perasaanku tidak pernah berubah.." Johnny menarik napasnya dalam, tersenyum sebelum mengatakan kalimat terakhirnya. "Aku menyukaimu.. dan untuk terakhir kalinya, aku benar-benar berterima kasih kalau kau juga memiliki perasaan yang sama sepertiku.."

Johnny tidak bisa mengingat apapun lagi saat itu, semua dikalahkan oleh perasaan gugupnya. Ia tidak ingat pasti bagaimana respon Sejeong juga. Yang diingatnya hanya satu, Sejeong memeluknya.

Tapi hari itu ia bisa meraih Sejeong, di mana perempuan itu akhirnya mau mempersilahkan Johnny masuk dalam kehidupannya, mengizinkannya untuk menoreh nama dalam buku kisah milik Kim Sejeong.

***

To be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen3h.Co