1 20 Twenty Spring
"Semua orang berkata bahwa perasaan jatuh cinta sama menegangkannya seperti menaiki roller coaster. Tapi setelah itu kurasakan sendiri, rasanya lebih menegangkan dari itu."
***
Noh Jisun, 21 Tahun, Melbourne
Ruang pertemuan itu tampak penuh sesak akan manusia, juga orang-orang berlalu-lalang saling menyapa dan melemparkan beberapa obrolan. Momen pertemuan ini memang paling mereka tunggu-tunggu sebab kapan lagi bisa berkumpul dengan teman-teman satu kewarganegaraan?Setiap awal tahun ajaran baru selalu diadakan pertemuan di sana, dimana seluruh mahasiswa asal Korea Selatan berkumpul dalam satu forum. Dalam kampus ini bisa dibilang ada 10 sampai 30-bahkan lebih-orang korea yang di terima setiap tahunnya. Namun suasana hangat itu rasanya tak berlaku bagi sosok gadis berpenampilan anggun yang sejak tadi diam di tempat duduknya, menerawang pada setiap orang yang melewatinya. Ada satu dua orang yang mendekat, namun si gadis cepat-cepat menunduk sambil meremas rok berwarna hijau pucat panjangnya. Kalau begini, mungkin ia akan kembali seperti dirinya yang sebelum-sebelumnya. Bergaul dengan orang baru adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Kenapa diam saja?"Gadis itu cepat-cepat mendongak begitu sadar ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Kedua matanya mengerjap pelan berusaha mengingat siapa sosok yang entah mengapa tidak asing baginya.Sosok lelaki yang berdiri di hadapannya itu tertawa pelan, beralih duduk di samping sang gadis yang spontan menggeserkan tubuhnya. Sikapnya itu tidak menyinggung si lelaki sama sekali sebab ia hanya menanggapi dengan tawa ringan. "Tenang-tenang! Aku disini hanya ingin menyapamu! Aku tidak mungkin membiarkan anggotaku sendirian seperti ini!"Barulah seketika gadis itu sadar siapa lelaki tersebut. Ekspresi wajahnya spontan kebingungan sebab ia yang bertingkah sembarangan pada senior sekaligus ketua himpunannya. Lelaki itu yang tadi memberi sambutan di depan saat pembukaan acara."M-maafkan aku, sunbae.." "Hei~ Tidak apa-apa! Aku sangat mewajari sikapmu!" Lalu ia mengulurkan tangan sambil tersenyum hangat. "Aku pikir mungkin kau tidak tahu namaku, perkenalkan, aku Kim Doyoung!"Gadis itu sempat ragu sejenak, perlahan membalas jabatan tangan lelaki bernama Doyoung itu. Percaya atau tidak, ini pertama kalinya seseorang mendatanginya untuk mengajak berkenalan. "Noh Jisun.."Doyoung tersenyum puas. "Kenapa kau terlihat takut, hm?"Jisun sempat tersentak sebab Doyoung yang tidak berbasa-basi sama sekali. "Er...""Kami semua disini adalah keluarga barumu.." ucap Doyoung dengan suara pelan, memalingkan wajah untuk melihat sekitarnya. Tangannya melambai begitu menemukan seseorang yang ia pikir bisa dipercaya untuk menemani Jisun."Kalau kau ada perlu atau membutuhkan bantuan, kau bisa mendatangiku.""Ada apa, oppa?" Seorang gadis datang dan berdiri di dekat mereka. Doyoung menunjuk Jisun dengan ibu jarinya dan tersenyum. "Dia satu jurusan denganmu. Kau bisa bantu dia bergaul dengan yang lain, kan? Gyuri?"Jisun yang tidak paham situasinya hanya mengerjapkan mata beberapa kali, menatap Gyuri yang juga memberikan respon ramah begitu mendapat perintah dari Doyoung. Gadis itu melambaikan tangan pada Jisun sambil memperkenalkan dirinya. "Aku pergi dulu. Aku sudah membantumu mendapatkan satu teman. Mereka tidak menakutkan, kok.." lalu Doyoung tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya. "Salam kenal, Noh Jisun." Jisun tidak bisa melepaskan pandangan dari Doyoung yang berjalan menjauhinya dan Gyuri. Lelaki itu kembali berkeliling untuk menyapa satu persatu anggota baru lainnya dalam himpunan yang ia pimpin sekarang. Rasanya waktunya berhenti sebab memperhatikan sosok Doyoung yang sudah seperti pahlawan untuknya. "Kau pasti terkagum dengan Doyoung oppa, kan?" Ucapan Gyuri membuyarkan lamunannya, membuat Jisun menoleh dan tersipu malu karena ketahuan sudah memperhatikan senior yang menyapanya tadi. "Aku dengar semalam dia menghafal sedikit data mahasiswa baru yang masuk dalam forum.""Benarkah?"Gyuri mengangguk semangat. "Itulah sebabnya dia bisa menyapa ramah semuanya dengan mudah. Dia tidak akan membiarkan siapapun sendirian! Ah, kau juga jangan sungkan padaku, ya? Aku siap membantumu!"Lagi-lagi Jisun kembali menatap ke arah Doyoung dan tanpa sadar ia tersenyum tipis melihat senyum lepas yang ditunjukkan lelaki itu. Kim Doyoung adalah orang pertama yang menyapanya saat ia tidak berani menyapa orang lain. Ia satu-satunya berani mengajaknya bicara disaat yang lainnya memilih ragu-ragu dan berakhir menjauh. Dan Doyoung orang pertama yang membuatnya jatuh hati pada seseorang saat ia sedang tidak bisa mempercayai siapapun.***
Jalanan kota, gedung-gedung tinggi perkotaan juga pepohonan hijau itu ia lewati dengan cepat. Padahal ini masih masuk pagi hari, rasanya panas terik matahari seperti sudah masuk waktu siang hari. Begitu bus yang ia naiki itu berhenti pada tempat tujuannya, buru-buru ia melangkah turun dari sana. Ia hampir saja terlambat untuk bekerja.Baru saja menginjakkan kaki pada aspal penampang jalan begitu ia sadar seseorang berdiri tak jauh dari hadapannya. Kedua matanya terbelalak sempurna lalu menghampiri seseorang tersebut."Oppa?"Seo Johnny tersenyum, "aku tepat waktu dengan menunggumu disini!"Sejeong tidak bisa menyembunyikan senyumannya begitu ia bertemu kekasihnya ini. Keduanya dengan alami berjalan beriringan menuju kantor tempat perempuan itu bekerja. "Ini." Johnny menyodorkan sebuah kotak bekal pada Sejeong, tersenyum manis. "Tadi aku membuat sarapan dan aku membuatkannya untukmu.""Kau tidak perlu repot-repot.." Sejeong memberengut kecil sambil menerima pemberian Johnny untuknya, memasukkan itu ke dalam tas jinjingnya. "Tapi terima kasih.."Johnny tersenyum puas, mengusak pelan poni kekasihnya itu gemas. Ah, rasanya sudah lama sekali ia tidak berlaku manis pada Sejeong. Tahu seperti apa detak jantungnya sekarang? Seperti rollercoaster yang berputar-putar dengan heboh. Johnny benar-benar merasa berdebar melihat senyum manis kekasihnya ini dan itu tidak akan pernah berubah.Pagi tadi memang ia berinisiatif menunggu Sejeong di halte dekat kantornya, sekaligus ia juga akan berangkat bekerja di cafe tempat Yuta. Sudah lama tidak melihat Sejeong, apalagi dalam durasi waktu selama ini. Kalau Johnny boleh jujur mengatakan, ia sangat merindukan kekasihnya. Sangat. Walaupun dalam benaknya sedang mempertanyakan sesuatu, soal pembahasannya bersama Chungha beberapa waktu lalu. Rasanya ingin mengajak Sejeong bicara soal topik itu. Langkah keduanya terhenti begitu mereka sampai di depan kantor Sejeong. Mereka sama-sama saling berhadapan sambil melempar senyum. "Aku masuk dulu.." Johnny bergumam pelan dan mengangguk, mengusap sekali lagi rambut kekasihnya sebelum ia beranjak lebih dulu menjauhi Sejeong. "Oppa.."Johnny berbalik begitu Sejeong memanggilnya dan dengan cepat menangkap tubuh mungil perempuan itu. Sejeong tiba-tiba memeluknya sampai ia harus membungkuk supaya tinggi badannya bisa diraih dengan mudah oleh kekasihnya itu."Ada apa?""Semangat untuk pekerjaanmu.. Kau sudah bekerja keras.." Lelaki itu tertegun cukup lama, tanpa sadar mempererat dekapannya pada tubuh mungil kekasihnya. Tidak peduli dengan beberapa orang yang lalu-lalang memperhatikan mereka, yang terpenting Johnny merasa sangat bahagia mendengar dukungan dari Sejeong.Hal kecil yang diberikan kekasihnya itu berhasil memulihkan energinya. Mereka melepas pelukan masing-masing dengan Sejeong yang susah payah berjinjit supaya bisa mencapai tinggi badan kekasihnya. Kedua tangannya menakup wajah lelaki itu, menatap kedua matanya yang memberi semangat. Sejeong tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pipi lelakinya. "Aku pergi dulu!" Johnny menatap kepergian Sejeong dengan perasaan bahagia, melambaikan tangan sama seperti Sejeong yang melambaikan tangannya riang. Johnny tidak bisa menahan tawanya melihat Sejeong yang bertingkah kekanakan di depannya.***
"Hari ini kenapa kau ingin aku menemanimu ke kantor Doyoung oppa?"Jisun tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Gyuri terhadapnya, mempererat gandengan tangannya sambil keduanya melangkah dengan santai menuju kantor tempat lelaki itu bekerja."Hanya.. Aku butuh teman."Gyuri terdiam, cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya dengan tersenyum. Ia berusaha untuk mencairkan suasana sebab ia tahu apa yang membuat Jisun sedang dalam mood yang tidak baik. Terakhir yang ia tahu, orang tua Jisun baru saja pulang. Ia juga tahu hubungan Jisun dan orang tuanya tidak begitu baik. Melihat Jisun sekarang, sepertinya memang terjadi sesuatu waktu kemarin mereka makan malam bersama. Keduanya memasuki kantor itu, berbicara pada resepsionis untuk menanyakan keberadaan Doyoung-karena Jisun tidak mengabari lelaki itu sama sekali. Baru saja sang resepsionis itu hendak menelepon Doyoung, lelaki itu muncul tak jauh dari sana. Ia baru saja keluar dari suatu ruangan bersama segerombol orang lainnya.Jisun tidak menyapa ataupun memanggil Doyoung yang melewatinya. Fokusnya hanya tertuju pada bagaimana kedua orang itu mengobrol dengan santai bersama sekumpulan orang lainnya. Sampai pandangan mereka bertemu. Doyoung tersenyum lebar melihat Jisun lalu segera menyingkir dari gerombolan orang tersebut. "Jisun-ah?" Lelaki itu spontan mengusak poni rambut Jisun gemas, melirik Gyuri juga sambil menyapa. "Tumben sekali kalian datang berdua, ada apa?""Ini.." lalu Jisun menyodorkan sebuah tas cantik berwarna biru muda dengan bekal makan siang di dalam. "Makan siang, seperti biasa..""Terima kasih.." Jisun mengernyit melihat bagaimana lebarnya senyum lelaki itu. Ah, rasanya sudah cukup lama ia tidak melihat Doyoung tersenyum seperti ini. "Kau mau langsung kembali ke restoran? Apa kalian naik angkutan umum? Ingin aku antar?""Wah, aku baru ini mendengarmu serinci itu, oppa." Gyuri mengutarakan langsung apa yang Jisun pikirkan pula. Gadis itu meliriknya, tersenyum tipis berterima kasih karena Gyuri sudah menyampaikan isi pikirannya."Mm? Memang kenapa?" lalu Doyoung meraih satu tangan Jisun dan menggenggamnya. "Kau buru-buru? Mau menemaniku makan siang?"Jisun sekali lagi melirik Gyuri. Mereka seolah sama-sama paham dengan isi pikiran masing-masing. Lalu Jisun kembali menatap Doyoung sambil menggeleng pelan. "Aku kesini hanya mau mengantar itu."Gadis itu melepas pelan genggaman tangan Doyoung padanya, membungkuk sekilas bersama Gyuri lalu berjalan menjauhi lelaki itu. Doyoung mengernyit menatap kepergian Jisun, berpikir keras sebab tidak biasanya gadis itu bersikap dingin padanya. Namun ia sama sekali tidak ada niat pula untuk menyusul, sekadar bertanya misal, alasan Jisun berlaku demikian. Mungkin hanya sedang dalam mood yang tidak baik?Jisun dan Gyuri menaiki taksi yang mereka panggil barusan. Duduk bersebelahan dengan saling bungkam, pula Jisun menggenggam erat tangan Gyuri. "Kenapa kau menolak tawaran Doyoung oppa?""Karena aku sedang bersamamu, eonni..""Aku tidak masalah kalau kembali ke restoran lebih dulu-""Aku sedang tidak ingin kalau-kalau nanti dia mengabaikanku lagi.." Gyuri tertegun sejenak, menggenggam tangan Jisun sambil mengusap-usap punggung tangannya pelan. "Sudah cukup kemarin mereka mengabaikanku, aku tidak mau diabaikan lagi.."Dugaan Gyuri benar. Jisun pasti kembali diabaikan oleh ayah dan ibunya sendiri. Bagaimana kedua orang tua itu tidak bertanya kabar dari anak semata wayang mereka, membahas soal reputasi dan kembali pada itu lagi. Menyakiti perasaan Jisun tanpa mereka sadari. Gyuri menghela napasnya berat, merangkul Jisun untuk menenangkan. Semoga saja suasana hatinya cepat membaik setelah ini.***
Johnny tidak tahu harus berbuat apa, hanya menatap kosong pada layar benda bersegi panjang dalam genggamannya itu sambil membaca tulisan yang tertera disana berulang kali. Rasanya ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
'Selamat anda lolos tahap akhir seleksi pengajar dalam lembaga pendidikan kami-'
Masih sama seperti sebelumnya, ia terus memastikan kalau yang dibacanya ini benar. Bahwa ia diterima di tempat mengajar itu.
"Aku diterima.." ucapnya lebih pada dirinya sendiri, juga tak tahu sudah kalimat yang ke berapa kali itu terucap dalam 10 menit terakhir.
Kepalanya mendongak, menatap gedung tinggi di hadapannya sambil meremas ponsel dalam genggamannya itu. Senyumannya melebar sebab rasa bahagia yang kemudian meluap keluar.
"Kim Sejeong.. Kekasihmu sudah punya pekerjaan tetap.." lirihnya lagi pada diri sendiri.
Rasanya tepat sekali dimana hari ini ia sedang berdiri di depan gedung apartemen tempat Sejeong tinggal. Niatnya ingin berkunjung untuk menemani Sejeong yang lembur dengan pekerjaan. Ini akan menjadi berita besar!
Johnny segera menuju unit apartemen tempat Sejeong tinggal dan tanpa berbasa-basi pula ia langsung masuk ke sana. Tak jauh dari sana ia langsung bisa melihat Sejeong di ruang tamu. Perempuan itu terlonjak, membuatnya yang sedang serius menatap laptop harus memecah fokus karena kunjungan tiba-tiba itu.
***
"Di hari itu, aku sungguh ingin tahu apa yang kau pikirkan setiap menerawang jauh ke sana. Apa yang membuat dirimu tersenyum setiap melihat daun pepohonan itu jatuh, Kim Sejeong? Apa ternyata saat itu kau memikirkannya?" -Johnny
---
Seo Johnny, 31 Tahun, New York.Setelah sekian lama menunggu momen hari ini begitu ia menginjakkan kakinya di New York. Kepalanya mendongak, melihat sekeliling di mana gedung-gedung pencakar langit mengelilinginya. Menatap dengan penuh kagum dan tidak percaya kalau ia bisa sampai ke sini. Beruntung sekali ia punya kenalan yang mau membantunya hingga ia bisa sampai di New York.Kali ini perhatiannya tertuju pada sebuah bangunan minimalis di tengah-tengah bangunan tinggi perkantoran. Ada rasa sedikit tidak yakin, namun memang benar adanya kalau bangunan di hadapannya ini memang tempat tujuannya.Agensi tempat Sejeong bekerja. Memang ini hal paling gila yang pernah Johnny lakukan. Ia bukan siapa-siapa bagi Sejeong. Bahkan ia juga tidak yakin kalau perempuan itu menganggapnya sebagai apa. Tapi karena hari ini adalah ulang tahun Sejeong dan ia sudah merencanakan sejak jauh-jauh hari untuk ini, maka lelaki itu tidak akan mundur lagi. Ia memeriksa jam tangannya. Kalau dihitung kembali, kurang lebih 10 menit lagi jam kerja Sejeong berakhir. Tidak peduli dengan orang-orang yang sekilas melihatnya sebab Johnny yang hanya berdiri menunggu di depan pintu masuk bangunan itu. Suara tawa yang cukup gaduh terdengar begitu sekelompok orang keluar dari sana. Salah satu diantara mereka adalah seseorang yang sejak tadi Johnny tunggu. Senyum mengembang di wajahnya."Kim Sejeong!"Perempuan itu dengan cepat menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Kedua matanya membulat dengan sempurna begitu melihat Johnny berdiri tidak jauh darinya. Lelaki itu melambaikan tangan dengan riang.Sejeong tampak kebingungan begitu teman-temannya menginterogasinya, membuat Johnny yang memantau disana ikut tertawa pelan. Tak berapa lama Sejeong menghampirinya dan teman-teman yang tadi bersamanya juga pergi."Bagaimana kau bisa kesini?!"Johnny tersenyum, menyodorkan sebuah bingkisan berupa tas kantong kertas berwarna maroon. Di dalamnya lagi masih ada sebuah hadiah yang terbungkus rapi dalam kotak kado berwarna putih. "Kejutan!" Jujur saja Johnny tidak tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan itu sebab Sejeong hanya menatapnya datar sambil menerima bingkisan yang ia sodorkan. Perempuan itu tampak menunduk, melihat isi dari tas itu. Helaan napas keluar dari mulutnya."Kau belum menjawab pertanyaanku.""Secara logika aku bisa sampai ke sini karena naik pesawat dan beberapa bantuan kecil dari seorang kenalan."Sejeong berdecak, mengeryitkan keningnya dalam. "Maksudku untuk apa? Apa kau mendapat pekerjaan disini?"Johnny tidak bisa menahan tawanya. Tangannya terulur untuk mengacak pelan poni tipis perempuan itu. "Apa aneh kalau aku bisa sampai disini?""Entah." Sejeong mengedikkan bahu. "Apa karena ini kau memaksaku untuk memberi tahu alamat tempatku bekerja?""Mm.. Hari ini ulang tahunmu. Jadi aku memutuskan datang.""A-apa?""Aku ingin mengajakmu makan malam sekaligus merayakannya..""Seo Johnny?!""Aku mohon jangan menolak.."Sejeong tidak tahu harus merespon bagaimana lagi. Yang bisa ia lakukan hanya menghela napas pasrah sambil kemudian ikut dengan ajakan Johnny. Mereka makan di salah satu restoran di dekat sana. Johnny juga sempat mendapat protes keras dari Sejeong karena tempat mereka makan ini menyediakan menu makanan yang sangat menguras kantong. Bahkan Sejeong baru mencoba sekali makan disana, itu pun sudah beberapa bulan lalu."Aku serius! Aku harus mengganti uangmu-""Tidak apa-apa, Sejeong.. Aku sungguh ingin mentraktirmu makan.""Oppa-""Aku sudah memohon padamu untuk tidak menolak."Lagi-lagi Sejeong tidak bisa menolaknya dan memilih ikut apapun yang ingin Johnny lakukan. Keduanya tidak banyak bicara setelahnya. Sejeong memilih bermain dengan ponselnya, sedang Johnny berusaha meredakan rasa gugupnya. Makanan pesanan mereka datang dan keduanya memilih menikmati dalam diam. Sesekali Johnny melirik Sejeong, memperhatikan perempuan itu memastikan suasana hatinya. Seperti biasa, Sejeong memang sangat sulit untuk ditebak. Di New York sudah memasuki musim gugur. Daun-daun pepohonan di luar sana pun mulai berubah kekuningan, satu persatu jatuh dan memenuhi jalanan. Sejeong menatap keluar jendela, memperhatikan setiap daun yang jatuh dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. "Sudah musim gugur.."Johnny tidak tahu maksud dari ucapan Sejeong, yang ia tahu hanya tatapan perempuan itu tampak tersirat kesedihan. Senyum di wajahnya sangat kontras dengan pandangannya. "Aku dengar Central Park sangat indah saat musim gugur.." Sejeong mengalihkan perhatiannya. "Ingin kesana sekarang?"Keduanya menuju Central Park. Sampai disana, mereka berjalan berdampingan menikmati suasana musim gugur dengan hawa dinginnya. Sejeong mengeratkan coat hitam yang ia kenakan, melihat sekeliling dimana dedaunan berjatuhan dan mengenainya. Senyuman sama sekali tidak luntur dari wajahnya. Johnny menikmati itu semua, bagaimana ia bisa memperhatikan Sejeong yang berada disisinya. Perempuan yang sangat ia rindukan. Bertahun-tahun ia menyukai perempuan itu berharap akan balasan, perjuangannya sangat berat sebab Sejeong yang sulit untuk diraih. Sekalipun memang perempuan itu menolaknya terus menerus. Tapi kali ini mungkin akan jadi terakhir kali ia menyatakannya. Mereka sampai di danau Central Park, menatap airnya yang jernih bersama pantulan bulan dan bintang dari langit malam. Daun-daun masih berguguran, membiarkan angin sepoi menerbangkan anak-anak rambut mereka. Sekali lagi Sejeong mengeratkan coatnya, mendongak menatap langit gelap serta pepohonan. "Kim Se-""Oppa, terima kasih..."Sejeong tersenyum padanya. Setelah sekian lama ia benar-benar bisa melihat Sejeong tersenyum begitu tulus untuknya. Johnny tertegun di tempatnya, menatap Sejeong dengan perasaan yang menenangkan. Langkahnya mendekat, menatap lekat sosok itu dengan kedua tangan perlahan meraihnya. Susah payah Sejeong mendongak untuk bisa melihat wajah Johnny. "Kim Sejeong.." Johnny tidak bisa menebak apa yang dirasakan Sejeong. Perempuan itu tampak tenang, berani menatap ke arahnya yang sedang susah payah menahan gugup. Genggaman tangannya mengerat, menelan salivanya demi sebuah kalimat yang sudah berada di ujung lidah."Kau tahu perasaanku tidak pernah berubah.." Johnny menarik napasnya dalam, tersenyum sebelum mengatakan kalimat terakhirnya. "Aku menyukaimu.. dan untuk terakhir kalinya, aku benar-benar berterima kasih kalau kau juga memiliki perasaan yang sama sepertiku.."Johnny tidak bisa mengingat apapun lagi saat itu, semua dikalahkan oleh perasaan gugupnya. Ia tidak ingat pasti bagaimana respon Sejeong juga. Yang diingatnya hanya satu, Sejeong memeluknya.Tapi hari itu ia bisa meraih Sejeong, di mana perempuan itu akhirnya mau mempersilahkan Johnny masuk dalam kehidupannya, mengizinkannya untuk menoreh nama dalam buku kisah milik Kim Sejeong.***
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen3h.Co