Truyen3h.Co

1 20 Twenty Spring

"Kalau saja ada kesempatan memutar kembali waktu, aku ingin kembali ke masa itu lalu menghapus ingatanmu tentang apa yang aku ucapkan. Tapi ketika masa mendatang tiba, apa itu menjamin kau tetap bersamaku?" -Doyoung









Aku Tidak Membencimu : Dari Sisi yang Tidak Kau Ketahui






***

Kim Doyoung, 18 Tahun, Yeosu

Langkahnya selalu ringan setiap ia menjemput gadis itu di rumahnya, bahkan sampai orang-orang di sana mengenali sosoknya. Doyoung terlalu sering ke sana dan memang sejak kecil sudah ia lakukan. Rumah sahabat sekaligus kekasihnya itu seperti rumah kedua baginya.

"Ibu Kim!"

"Nak Doyoung!"

Doyoung menyalami wanita yang menyambutnya itu, ibu dari gadis yang sedang ia jemput sekarang ini. Ia menunggu di depan gerbang sambil sesekali mengintip dari celah pagar yang terbuka. Tidak berapa lama gadis yang ia tunggu keluar, dengan rambut hitam panjang yang ia cepol berantakan ke atas.

Walaupun begitu Doyoung tetap suka melihatnya.

"Kau bangun kesiangan lagi?" ucap Doyoung sambil memegang cepol rambut Sejeong, lalu menggerak-gerakkannya dengan jahil.

"Berhenti semakin merusak penampilanku!"

Doyoung tertawa sambil menghindari pukulan Sejeong di perutnya. Ia melihat penampilan Sejeong sekali lagi dan baru sadar kalau gadis itu memakai jaket sedangkan saat ini masih musim panas. Bukannya Sejeong mudah kepanasan, untuk apa ia memakai jaket?

"Tumben sekali kau memakai jaket?"

"Hng?"

"Tapi tunggu? Aku seperti kenal jaket ini?"

"Ini jaketmu."

"Jaketku?"

"Yang waktu itu hilang. Niatku iseng mengambilnya tapi kemudian lupa mengembalikan."

"Sejeong?!"

Sejeong tertawa puas dan berjalan lebih dulu lalu berbalik. Ia menjulurkan lidahnya sebelum akhirnya berlari meninggalkan Doyoung yang berteriak mengejar.

Seperti hari-hari biasa di sekolah, setiap waktu istirahat tempat Doyoung duduk selalu ramai. Apalagi setelah istirahat jam makan siang ada ujian matematika, mereka biasanya suka bertanya pada lelaki itu untuk mengajari mereka.

"Kenapa setiap kau mengajari kami, pelajaran matematika menjadi lebih mudah?"

"Kalian jangan begitu.."

Doyoung tertawa canggung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia menoleh ke belakang di mana Sejeong duduk di bangku dekat jendela. Gadis itu sendirian dan memakai headset ditambah kepalanya ia tutupi dengan tudung jaket.

"Dia sedang menggambar lagi, ya?"

"Kenapa dia masuk sekolah akademik kalau dia sendiri tidak tertarik dengan belajar?"

"Doyoung-ah? Sejeong selalu meminjam catatanmu, kan? Kau tidak risih dia mengganggumu begitu?"

"Hush! Kau bicara apa?"

Doyoung mendengar ucapan teman-temannya, melirik mereka tajam sambil mendengus kesal. "Kalau kalian tidak suka sebaiknya bicara langsung pada Sejeong, jangan padaku!"

"Kau kan pacarnya! Lagian, kami tidak berani~ Sejeong seram kalau sedang marah!"

Lelaki itu menghela napas, memilih untuk meninggalkan teman-temannya itu dan mendatangi Sejeong. Doyoung duduk di bangku kosong di depan gadis itu, menumpukan kepalanya dengan memeluk punggung kursi menghadap Sejeong. Gadis itu mendongak, wajahnya tampak terkejut dan cepat-cepat ia menarik lengan jaketnya untuk menutupi seluruh tangannya.

"Kau sedang apa?"

"Menggambar? Bukankah sudah biasa?"

Doyoung mengangguk, melihat gambar yang dibuat Sejeong pada buku gambar kecil miliknya. "Gambaranmu selalu bagus.."

"Tapi kemarin mereka masih mengkritikku habis-habisan."

Doyoung tidak pernah tahu dunia yang ingin dikejar gadisnya. Semenjak mereka berdua menginjak kelas 3, banyak sekali perbedaan yang ia rasakan, terutama tentang pandangan mereka terhadap apa yang ingin mereka capai. Di masa ini pula ia merasa seberapa bebal Sejeong pada orang tuanya, gadis itu benar-benar pemberontak.

"Habis ini ada ujian matematika. Kau tidak belajar?"

"Aku bisa isi dengan semampuku."

"Kau tidak belajar?"

Sejeong terlihat tidak suka begitu Doyoung mengulangi pertanyaannya. Sebenarnya Doyoung tahu jawabannya, Sejeong tidak mempelajari dengan benar materi untuk ujian nanti.

"Kalau kau seperti ini kau tidak bisa lulus, Sejeong."

"Aku tidak sebodoh itu!"

"Aku hanya mengingatkanmu."

"Kau tahu kan aku tidak suka berdebat soal nilai!"

Semua orang jadi memperhatikan mereka. Doyoung yang sadar dengan hal itu hanya bisa menghela napas. "Baiklah. Terserah kau saja."

Doyoung tidak tahu kalau Sejeong bisa menjadi begitu menyebalkan akhir-akhir ini dan semua itu semakin terasa menyebalkan begitu ia semakin sering membolos untuk pergi kursus. Mereka kursus di tempat yang sama dan begitu Doyoung sudah membawa Sejeong keluar untuk berangkat bersama, gadis itu berpamitan untuk pergi ke jalur yang berbeda. Sejeong bilang tempat kursus menggambarnya sudah mengambil kelas intensif, apalagi ia masih jauh tertinggal dari teman-temannya.

Doyoung membiarkan, awalnya. Karena ia juga tahu Sejeong masih rajin menyalin catatan yang ia pinjamkan dan meminjam milik temannya yang lain. Di sekolah Doyoung jadi jarang melihat Sejeong menggambar, tapi ia bisa melihat gadis itu belajar mata pelajaran biasa.

Sampai nilai ujian pertama keluar.

"KAU HARUSNYA BISA MENDAPAT NILAI YANG BAGUS SEPERTI DOYOUNG!"

Doyoung tidak sengaja harus melihat Sejeong yang dipukuli orang tuanya, ditambah mendengar bahwa mereka membanding-bandingkan Sejeong dengannya. Dan ia jadi tahu alasan mengapa akhir-akhir ini Sejeong suka memakai training dan jaket, itu untuk menutupi luka di lengan dan betisnya.

Suara berisik di dalam sudah tidak terdengar. Terakhir mereka berucap untuk Sejeong cepat-cepat bersiap karena sudah mendekati waktu kursus. Cepat-cepat Doyoung memakai headsetnya, pura-pura tidak mendengar itu semua sambil menunggu Sejeong keluar.

"Eoh? Kau sudah disini?"

Doyoung bertingkah seolah ia baru datang, ia tersenyum kecil, memperhatikan Sejeong yang menatapnya khawatir sambil melirik ke arah rumahnya. Ia tahu pasti apa yang dipikirkan gadis itu, apakah Doyoung mendengar semua?

"Ayo! Kita terlambat!"

"E-eoh.."

Sepanjang perjalanan mereka tidak saling bicara. Sejeong juga sejak tadi menunduk melihat langkah kakinya sendiri. Doyoung juga tidak tahu harus berkata apa, ia takut salah bicara dan ketahuan kalau tadi sudah menguping apa yang terjadi.

"Kau akan ke tempat kursusmu lagi?"

Hanya itu yang bisa ia tanyakan. Apalagi tadi setelah dipukuli, apa Sejeong masih punya keberanian untuk lebih memilih pergi ke tempat kursus menggambarnya?

"Iya. Hari ini ada ujian disana."

Dan mulai dari keesokan harinya, Doyoung memulai untuk mengabaikan Sejeong. Ia tetap datang menjemput gadis itu untuk berangkat sekolah, menunggunya untuk pulang juga, siklus yang sama untuk mengajaknya pergi kursus di malam harinya dan selama itu juga hanya Sejeong yang selalu mengajaknya bicara namun ia tidak mau menanggapi.

Sejujurnya ia tidak tahu mengapa tiba-tiba menjauhi Sejeong. Tapi satu hal yang ia pikirkan, ia tidak mau kalau Sejeong terlalu mengandalkannya. Menganggap ia bisa selalu ada untuk membantu atau menolongnya dalam belajar. Semakin lama pula ia sadar kalau ia tidak suka dengan sikap Sejeong pada orang tuanya.

Lalu sampai pada puncak kesabaran Doyoung dan mendengar lagi Sejeong dimarahi waktu ia menjemputnya untuk kursus.

"Kau mau kemana?"

Doyoung menahan pergelangan tangan gadis itu dan benar saja, Sejeong meringis merasa perih di tangannya. "Ke tempat menggambar-"

"Kau tidak kasihan dengan orang tuamu?! Mereka membayar mahal-mahal supaya kau bisa belajar!"

"Apa?!"

"Aku dengar semuanya! Jangan membantah mereka lagi dan seriuslah dalam belajar!"

"Aku tidak pernah meminta mereka mendaftarkanku disana, Doyoung! Mereka memaksaku! Lagian untuk kursus menggambar aku membayar dengan uang tabunganku sendiri!"

"Harusnya kau bicarakan pada mereka supaya mereka mendukung-"

"Kau tahu mereka tidak mau aku jadi desainer!!"

Doyoung selama ini merasa hidupnya lurus-lurus saja, mendengarkan semua keinginan orang tuanya dan menurutinya. Ia tidak bisa merasakan bila ia berada di posisi Sejeong. Tapi baginya tingkah Sejeong sekarang ini menyebalkan dan kekanakan.

"Kalau saja orang tuaku seperti orang tuamu yang mendukung apapun yang kau pilih, aku juga tidak akan membangkang! Aku tersiksa, Doyoung! Aku sadar kalau aku bodoh dalam pelajaran! Lalu, aku juga salah kalau mengejar satu-satunya hal yang bisa aku lakukan dengan baik?!"

Doyoung memang sering mendengar Sejeong bercerita bagaimana ia lelah harus dipaksa seperti itu. Bahkan ia tahu kalau Sejeong bersekolah di sekolah akademik saja juga dari paksaan orang tuanya. Tapi saat ini ia tidak bisa menerima itu semua.

"Kalau kau sadar diri dan merasa bodoh, harusnya kau berhenti datang ke tempat kursus itu! Berhenti merepotkan orang lain, Sejeong!"

"Yak! Kenapa kau tiba-tiba mengomeliku seperti ini?!"

"Aku lelah! Kau tidak tahu kan kalau aku merasa lelah juga?!!"

"Apa yang mau kau bicara-?"

"Kau tahu tidak teman-teman menjelekkanmu di depanku? Mereka terganggu setiap kau meminjam catatan pada mereka dan aku sangat terganggu mendengar mereka selalu mengeluhkanmu padaku! Itu urusanmu, lalu kenapa aku harus ikut merasakan dampaknya?!"

"A-apa?"

"Kenapa kau kekanakan seperti ini, sih?! Kalau kau tidak suka seharusnya kau tidak melibatkan orang lain!"

Sejeong tampak terkejut, jelas sekali dari wajahnya. "M-mereka waktu itu tidak masalah.. Kalau mereka tidak mau meminjamiku aku juga tidak apa-apa.. Aku bukan merampas tapi meminta tolong secara baik-baik.."

"Tapi mereka tidak suka! Itu mengganggu! Kalau kau memang tidak mau belajar harusnya kau tidak merepotkan orang lain! Menggambar dan menggambar! Pantas kalau kau tidak bisa menyusul kami! Kau harusnya sadar kalau mengejar itu semua tidak bisa membuatmu berhasil!"

Ia tidak tahu perasaan Sejeong saat itu, tapi ia merasa salah dengan membentak Sejeong demikian. Doyoung.. seperti tidak menghargai mimpi yang sedang ingin dicapai gadis itu. Tapi karena ini sudah terlanjur, maka yang bisa ia lakukan hanya dengan melanjutkan sekaligus menghentikan Sejeong untuk bertindak lebih jauh.

"Kim Sejeong.."

Gadis itu menatapnya tidak percaya. Kata-kata yang diucapkan Doyoung sungguh mengenainya. Doyoung menarik napasnya, berkata suatu hal yang ia sesali kemudian.

"Aku tidak mau berpacaran dengan seorang yang membangkang pada orang tuanya."

Dengan ini Sejeong pasti sadar dengan kewajibannya.

Tapi setelah beberapa hari berlalu dan saat-saat itu pula Doyoung memperhatikan, ia tidak bisa. Melihat Sejeong duduk sendirian dengan wajah lelahnya di sekolah membuatnya terluka.

Apa kemarin ucapannya keterlaluan? Bahkan secara tidak langsung meminta putus. Sepanjang mereka berangkat dan pulang bersama, ia tidak bisa mengabaikan tatapan kosong yang ditunjukkan gadisnya. Dan Sejeong masih terus berpura-pura tersenyum pada orang tuanya setiap Doyoung datang, mengajak Doyoung mengobrol seadanya sekalipun tidak mendapat balasan.

"Aku minta maaf telah merepotkan kalian.."

Dan hari itu Doyoung benar-benar terkejut melihat Sejeong yang membungkuk 90 derajat di hadapan teman-teman yang sering ia mintai tolong untuk ia pinjam catatannya. Ia sampai tidak tahu harus merespon, apalagi melihat Sejeong berusaha keras untuk meminta maaf.

"Apa-apaan, sih? Kau seperti membuat kami terlihat buruk!"

"Kami membantumu, tapi kenapa kau seperti ini?"

Doyoung lebih terkejut mendengar respon teman-temannya. Mereka yang mengeluh dan seolah menuntut permintaan maaf Sejeong pada mereka. Begitu Sejeong melakukannya, mereka justru berkata demikian? Bagaimana perasaan Sejeong saat itu?

Ia sadar selama ini Sejeong kesepian. Teman yang di depannya berkata kalau Sejeong orang yang hebat justru berbalik menikamnya. Selama ini hanya ia yang menjadi teman Sejeong. Sejeong selalu baik pada mereka, membantu setiap mereka membutuhkan pertolongan. Doyoung tahu sendiri seberapa senang gadis itu bisa membantu orang selagi ia bisa. Tapi ternyata teman-temannya tidak setulus itu padanya. Pasti itu membuat Sejeong terluka. Ia merasa tidak berguna.

Kondisinya semakin parah waktu orang tuanya dipanggil ke tempat kursus, memberitahu kalau selama ini Sejeong tidak pernah berangkat ke sana dan dengan terpaksa Doyoung harus menceritakan semuanya. Saat itu ia menyaksikan lagi Sejeong yang dimarahi habis-habisan.

Sejeong juga sempat tidak masuk sekolah sampai tiga hari, kemudian begitu ia muncul kondisinya juga tidak jauh lebih baik dari sebelumnya. Menjadi lebih pendiam, begitu istirahat ia tetap di bangkunya dan belajar.

"Sejeong?" Doyoung menyodorkan satu bungkus sandwich dan susu, duduk di kursi kosong di depan gadis itu seperti yang biasa ia lakukan. "Kau sudah bekerja keras.. Jangan memaksakan diri.."

"Iya."

Rasanya amat tercekat. Bahkan Sejeong tidak mau menatapnya. Apa seperti ini rasanya diabaikan? Setelahnya mereka sudah tidak pernah pulang dan berangkat sekolah bersama-Sejeong selalu berangkat lebih pagi dari Doyoung, begitu pula di tempat kursus, Sejeong mengambil kelas berbeda.

"Ada apa?"

"Setelah pulang kursus, kau mau pergi ke pantai sebentar?"

Malam itu mereka pulang terlambat, sesuai janji Doyoung, ia mengajak Sejeong ke pantai untuk menenangkan pikirannya. Anggap saja ini sebagai hadiah atas kerja keras Sejeong yang mau belajar akhir-akhir ini.

Duduk di ayunan sambil menatap ke arah deburan ombak, juga angin sepoi yang menerbangkan anak rambut mereka. Suasananya sama dingin dengan angin yang berembus dan Doyoung tidak tahu harus memulainya dari mana.

Seketika ia rindu mendengar Sejeong mengoceh panjang lebar, tersenyum ke arahnya sambil tertawa mencairkan suasana. Sejeong tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan sisi lemahnya, tapi kali ini ia memilih menunjukkan itu semua. Kedua matanya yang menatap ke depan dengan sayu tidak bisa berbohong. Besar kecil kemungkinan, Doyoung sadar ucapannya hari itu juga menjadi salah satu faktor yang membuat Sejeong jadi seperti sekarang.

"Sebelum kau bicara.. Boleh aku lebih dulu?"

Doyoung tidak tahu kalau suara yang dikeluarkan Sejeong begitu mencekat, mencekiknya dan terdengar sangat putus asa. Perlahan Doyoung mengangguk, memberi kesempatan agar Sejeong bicara lebih dulu.

"Doyoung.."

"Mm?"

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan tentangku?"

Doyoung sampai menahan napasnya, memandangi gadis itu dari sisi dengan perasaan menyesal. Tidak-tidak! Ia sama sekali tidak berpikir apapun tentang Sejeong!

"Apa selama ini kau merasa kalau aku merepotkan?" Dan gadis itu menatap ke arahnya. "Apa aku membuatmu risih?"

"Aku... Tidak berpikir seperti itu.."

"Jujur saja.. Biar aku bisa memperbaiki diri juga.."

Sejeong sungguh menunjukkan sisinya yang lemah sekaligus kuat di depan Doyoung. Ia tetap berani menatap lurus ke arahnya sementara lelaki itu sedang berusaha menahan dirinya untuk tidak berpaling.

"Kalau dipikir.. Ucapanmu waktu itu benar.. Bagaimana aku bisa berhasil kalau kelulusanku di sekolah itu saja masih abu-abu. Apalagi aku bodoh."

"Kau tidak bodoh, Sejeong.."

"Kau yang memperjelas ucapanku waktu itu kalau kau lupa."

Doyoung menyesal. Ia merasa bersalah dengan mengatakan kalau Sejeong itu bodoh. Itu terlalu berlebihan hanya karena ia lelah dan frustasi.

Ia hanya tidak mau Sejeong dipukuli orang tuanya lagi. Hanya itu tujuannya.

"Ayah dan Ibuku memberi kesempatan, aku bisa mengambil jurusan yang aku inginkan dengan syarat.. aku harus masuk setidaknya jajaran 20 besar diujian berikutnya." lalu gadis itu mendenguskan senyum kecut, menunduk sedih atas kenyataan yang terjadi. "Aku sedang berusaha keras, tapi aku rasa aku akan menyerah saja. Aku saja tidak pernah menembus 70 besar. Miris bukan? Aku memang tidak berguna, makanya mimpi yang aku inginkan juga sama tidak bergunanya."

"Jangan berkata seperti itu..."

"Memang begitu adanya. Kau yang mengatakannya sendiri juga, kan?" Sejeong mendongak kembali, memberikan senyuman tipis untuk Doyoung di hadapannya. "Terima kasih, ya? Aku tidak tahu kalau aku sebegitu menyebalkan, teman-teman juga berpikir sama. Kalau saja kau tidak mengeluhkannya.. Harusnya kau katakan itu sejak lama.."

Doyoung tidak punya muka untuk menatap Sejeong. Ia hanya sanggup menunduk merasa sangat bersalah. Dia seperti sama saja dengan teman-temannya yang lain.

"Aku tidak bermaksud begitu, Sejeong.. Sungguh hari itu-Akh! Aku yang bodoh! Tidak harusnya aku berkata seperti itu! A-aku hanya lelah mendengar ocehan teman-teman yang mengeluhkanmu. Aku kesal karena mereka tidak mau menyampaikannya sendiri! Aku juga lelah selalu menangkap basah setiap dirimu dipukuli orang tuamu! Aku seperti ikut merasakannya. Aku benar-benar minta maaf kalau kau tersinggung.."

"Tidak perlu. Aku sama sekali tidak tersinggung.."

Kemudian mereka kembali saling diam. Ada satu hal yang ingin diucapkan Doyoung kalau saja Sejeong tidak menyinggung hal tersebut. Sekarang ia tidak punya keberanian untuk itu. Waktunya kurang tepat kalau ia katakan itu sekarang. Sejeong masih terpuruk, ia tidak mungkin-

"Katakan saja.. Aku siap mendengarkan apapun.."

Sial.

Ia lupa kalau Sejeong bisa menjadi orang yang paling peka begitu sampai di saat-saat seperti ini. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya pasrah dan melanjutkan.

"Baiklah.."

Doyoung berdiri, memilih berjongkok di hadapan Sejeong sambil meraih tangan gadis itu untuk ia genggam. Doyoung sama sekali tidak berani menatapnya dan hanya menunduk. Berulang kali batinnya meminta maaf, ia tidak bisa menyakiti gadis itu lagi lebih dari ini sejujurnya.

"Soal ucapanku terakhir.. Aku tidak bermaksud.. Aku paling menyesal mengatakan itu tapi setelah aku pikir-pikir.. Ini bisa jadi pilihan paling baik untuk kita berdua.."

Doyoung menatap lekat ke arah Sejeong. Kalimat itu sungguh sudah berada diujung lidahnya, melihat wajah gadis itu membuatnya tidak bisa berbicara lebih jauh. Seakan memahami situasinya, Sejeong berbalik menggenggam kedua tangan Doyoung sambil tersenyum, memberi kekuatan supaya Doyoung sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Saat ini kehidupan kita masih berputar di satu tempat. Di luar sana masih ada dunia yang lebih luas dan aku yakin kita masing-masing ingin menjelajahi itu semua, kan? Bertemu banyak orang baru, menjalin relasi yang luas, berfokus pada impian kita yang tak terbatas.."

Sejeong seolah mengikuti alur bicara yang ingin dituju laki-laki tersebut. Tapi perlahan kepalanya menunduk, merasa sadar dengan apa yang akan diucapkan Doyoung padanya.

"Dengan apa yang aku miliki sekarang.. Aku tidak berani menjanjikan apapun padamu.. Aku hanya murid SMA yang ingin mengejar impian. Aku orang yang mudah tertekan dan aku tidak mau itu menghalangiku. Kau dan aku sama-sama ingin bebas, kita sering membahasnya juga."

Doyoung masih menatap Sejeong yang menunduk tidak berani menatapnya. Sejujurnya ia tidak tega untuk mengatakan itu semua. Ia tidak bermaksud, bahkan dalam dirinya tidak pernah sedikit pun muncul pikiran untuk membenci Sejeong. Tidak pernah dan bukan itu tujuannya.

"Aku tidak bisa berada disampingmu terus.. Sungguh aku sebenarnya tidak ingin mengatakannya dan aku sudah membuatmu sedih.. Kau akan baik-baik saja, kan?"

"Mm.."

Mereka saling beradu tatap, cukup lama sambil menyalurkan perasaan masing-masing. Mereka masih saling menyayangi. Sangat. Tapi sebelum mereka benar-benar tidak bisa saling merelakan, maka itu semua harus disampaikan saat ini juga.

"Seandainya nanti waktu kita bisa bertemu lagi perasaanmu telah berubah.. Aku tidak akan sakit hati saat yang aku lihat bersamamu bukanlah aku."

Doyoung tidak tahu apa yang Sejeong pikirkan. Gadis itu tampak mempertahankan ekspresi wajahnya dan terus menatap lurus ke arahnya. Berbeda dengan Doyoung yang sedang susah payah menahan air matanya sendiri.

"Dan aku harap kau tidak sakit hati saat itu terjadi padamu juga.."

Ia berhasil mengatakannya. Tinggal satu kalimat lagi dan semua akan berakhir. Sejeong tidak akan menderita lagi. Sejeong bisa terbang jauh tanpa ia yang menahannya. Sejeong tidak harus bergantung padanya lagi, lelaki yang tidak bisa diandalkan.

"Aku ingin.. kita putus saja, Sejeong.."

Ia melihat Sejeong. Gadis itu melihat ke arah lain sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Berkebalikan dengan sorot matanya yang menunjukkan rasa kecewa, gadis itu sungguh tersenyum pada Doyoung.

"Mm.. Memang sebaiknya begitu. Kau tidak perlu mendengar mereka mengeluh soal aku lagi dan kau bisa mengambil keputusan dan bertingkah tanpa memikirkanku. Kau juga tidak akan kerepotan mengurusku yang tidak berguna-"

"Bukan begitu maksudku-"

"Aku tahu. Aku sedang menyadarkan diri sendiri karena aku memang menyusahkan banyak orang. Doyoung? Kita harus menikmati masa-masa muda kita, kan? Aku juga akan merasa sangat bersalah jika cita-citamu terhambat karenaku."

Tolong jangan tersenyum! Doyoung meneriakkan itu berulang kali dalam hatinya. Ia biasanya suka melihat Sejeong tersenyum namun kali ini ia membencinya. Ia benci melihat Sejeong yang tersenyum di saat dirinya sedang terluka.

"Tapi kita masih bisa berteman, Sejeong! Aku tidak mau kehilangan-"

"Maka setelah ini kita lupakan saja soal status berpacaran kita.."

"Apa?"

"Permintaanku. Itu lebih baik supaya kita tidak merasa canggung. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Kau dan aku, kita berdua memang hanya sahabat sampai kapanpun."

Doyoung ingin membantah dan menolaknya, namun tidak bisa dipungkiri kalau itu terdengar masuk akal baginya. Kalau ingin hubungan mereka tetap baik-baik saja, maka cara yang bisa mereka lakukan memang dengan menganggap tidak pernah terjadi apapun.

Mereka sungguh melakukannya, bertingkah seperti biasanya seolah tidak terjadi apapun dan teman-temannya tidak ada yang curiga kalau ternyata Doyoung dan Sejeong sudah tidak lagi menjadi sepasang kekasih. Perubahan Sejeong juga sungguh pesat dan dengan ajaib ia mampu meraih peringkat ke 20 pada ujian berikutnya.

Doyoung lega melihat Sejeong mampu bertahan dan bisa meraih mimpinya dengan memenuhi syarat yang diminta orang tuanya. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena ia sadar Sejeong semakin menarik dirinya dari orang sekitar dengan terus bersandiwara seolah ia selalu baik-baik saja. Termasuk dengan dirinya.

***

"Liburan musim dingin? Kalian akan pergi liburan?!"

Sejeong yang saat itu sedang membuat adonan kue tertawa mendengar pertanyaan salah satu teman Johnny yang baru saja datang ke apartemennya. Namanya Mark.

"Why do you look so upset?!" ucap Johnny lalu menghampiri Sejeong di dapur. Perempuan itu bersama Wendy sedang membuat kue untuk mereka bawa besok saat berlibur.

"Dude! I have to spend days with my family!"

"Ah, you can't go on holiday with Mina?"

"That's what i mean!"

Mereka tertawa, sementara dua perempuan itu masih melanjutkan untuk membuat adonan kue. Johnny tetap di samping Sejeong, memperhatikan perempuan itu dan juga Wendy yang saling berhadapan dengannya secara bergantian. Sekarang ia tahu mengapa kedua perempuan ini bisa cepat akrab.

"Oppa? Kau mau bantu menguleni adonannya?"

"Oh? Aku cuci tangan dulu!"

"Mark! Don't you want to help me? Daripada kau duduk diam di sana melihat kami!"

"I can't cook!"

"You just need to press it! Look at Johnny!"

Mark menghela napasnya, turun dari kursi untuk mencuci tangan terlebih dahulu sebelum membantu Wendy. "Nuna selalu memprotes apapun yang aku lakukan!"

Kegiatan membuat kue itu berlangsung menyenangkan. Mark sejak tadi juga tertawa dengan hal-hal kecil, Johnny yang biasanya tidak banyak bicara saat itu melontarkan lelucon dan bereaksi berlebih, itu sama saja seperti Wendy. Sejeong sampai lelah menertawakan mereka, hanya sedang memasak tapi suasananya bisa seheboh itu.

"Press a little bit harder!"

"Ouh? You speak english to me?"

"Terbawa yang lain! Kalian sejak tadi mengobrol dengan bahasa inggris, jadinya aku ikut-ikutan!"

"Ayo kita cetak adonannya!!" seru Mark semangat, padahal tadi dia yang sempat mengeluh untuk disuruh bekerja.

"Apa begini menggiling adonannya?"

Sejeong menoleh, tertawa sejenak melihat Johnny sedang menggiling adonan dengan canggung. Ia mendekat, mengambil alih pekerjaan itu dan membuat lelaki itu takjub.

"Oppa mau bentuknya apa?"

"Ini?" ucap Johnny sambil mengambil salah satu cetakan kue lalu memperhatikannya. "Ini bentuk apa? Beruang? Panda?"

"Haha! Astaga!"

"Mungkin itu kadal berjumbai, hyung!"

"Mana ada!!"

"You stupid, Mark!"

Sejeong sampai berjongkok menahan tawa. Sudah lama ia tidak tertawa sepuas ini sampai rahangnya ingin lepas dari tempatnya. Siapapun selamatkan Sejeong sekarang!

Mereka masih seperti tadi, walaupun akhirnya berhasil menyelesaikan kegiatan membuat kue itu dan sekarang tinggal menunggu kue tersebut matang. Johnny dan Mark berjongkok di depan oven sambil melihat ke dalam sana, penasaran bagaimana proses kue tersebut untuk matang. Sejeong dan Wendy mencuci alat-alat masak yang sudah tidak diperlukan.

"Sejeong?"

"Eung?"

Johnny berdiri di belakang Sejeong yang sedang mencuci piring, menumpukan kepalanya di bahu perempuan itu. Wendy yang ada di sebelahnya berdecak pelan.

"Memang Johnny suka bermanja-manja denganmu seperti ini?"

"Dia hanya mencari perhatian.."

"Iya aku kan mencari perhatianmu, Sejeong~"

"Oppa, kau tidak malu?!!"

Sejeong mendorong wajah Johnny dengan tangannya yang masih basah dan penuh busa, membuat lelaki itu ditertawakan oleh yang lainnya. Kue yang mereka buat sudah matang, Sejeong dan Wendy menata kue-kue itu dan membaginya, ada yang mereka letakkan dalam toples untuk mereka makan setelah ini, ada yang dimasukkan dalam kotak plastik untuk Sejeong bawa besok waktu berlibur.

Wendy mengambil salah satu kue yang ada di loyang, menyodorkannya pada Johnny. "Johnny aaaa~"

Sejeong dan Mark kompak menoleh, apalagi Johnny yang terkejut, spontan membuka mulut untuk menerima suapan itu. Ia melirik Sejeong, perempuan itu melihatnya sekilas lalu mengambil kue di loyang juga, mengarahkannya pada Mark.

"Mark aaa~"

"What-"

"Aaaa~ Pintar~"

Wendy tertawa, menepuk bahu Sejeong pelan lalu berpindah tempat supaya Sejeong bisa berdiri di samping Johnny. Ia menaik-turunkan alisnya dengan jahil. "Sekarant kau suapi dia~"

"A-apa?"

Wendy tertawa lagi, puas melihat wajah gugup dua orang tersebut. "Kenapa kalian tegang begitu, sih? Kau tadi bisa santai waktu menyuapi Mark!"

"Hehe.."

"Sudahlah nuna..  Jangan mengganggu Sejeong terus!"

"Tsk! Padahal kau juga suka kalau disuapi?!"

"Aku bisa makan-"

Sejeong tiba-tiba menyuapi Johnny dengan sepotong kue dan membuat lelaki itu terdiam. Johnny tertawa pelan sambil ia mengunyah kue itu dan Sejeong ikut tertawa dengannya. Wendy melihat mereka seperti seorang ibu yang membesarkan anaknya, ia merasa terharu.

Sama dengan Sejeong yang sudah lama tidak bercengkerama dengan orang banyak tanpa harus menahan diri. Ia bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya pada ketiga orang itu dan rasanya menyenangkan!

"Sejeong? This is the first time I have seen your sincere smile!"

***

Hari ini datang lagi, suasana masih tegang seperti biasanya dan hanya suara pisau dan garpu yang memenuhi seisi ruang makan itu. Jisun masih sama patuhnya, memakan makanannya dengan tenang sambil menundukkan kepala. Rasanya untuk melawan orang tuanya ia masih belum siap.

"Kalian bukannya membahas pernikahan dan malah pergi berlibur?"

Dan seperti biasa pula, ayahnya tidak suka berbasa-basi. Segera setelah beliau menyelesaikan makan malamnya, satu pertanyaan itu segera terucap untuk menyerang Jisun.

"Iya."

"Sejak kapan ayah mengajarkanmu membuang-buang waktu? Doyoung benar-benar! Kau tahu apa yang kau lakukan ini, hm?"

"Aku tahu."

"Kau sadar sedang bicara dengan siapa?"

"Iya."

"Noh Jisun!"

"Sabar.." ucap Ibu Jisun menenangkan suaminya. Kini perhatiannya tertuju pada Jisun dan menatapnya tajam. "Kalian ini bukannya membahas pernikahan! Semua orang sudah mempertanyakan itu! Berpikirlah, Jisun! Jangan ikut berbuat bodoh seperti Doyoung!"

Jisun hanya diam menatap lurus pada piring kosong di hadapannya. Ia membiarkan saja ucapan ayah dan ibunya. Membahas soal liburan saja mereka sudah semarah ini.

"Kau bahkan mengabaikan ibu-"

"Ibu."

Ayah dan Ibu Jisun spontan terdiam, apalagi melihat ekspresi wajah Jisun yang berbeda dari biasanya. Dengan berani gadis itu mengangkat kepalanya, melihat ke arah orang tuanya.

"Mungkin bagi kalian liburan adalah hal yang tabu, membuang-buang waktu. Orang sibuk seperti kalian mana pernah merasakan liburan seperti yang mereka lakukan."

"Sadarlah! Ayah sibuk juga untuk kehidupanmu, Jisun! Berhentilah ikut-ikut apa yang mereka lakukan!"

"Aku tahu ayah dan ibu sibuk itu demi aku! Tapi apa aku tidak boleh menenangkan pikiran? Apa itu hal yang merugikan saat aku pergi sesekali saat memang ada waktu luang?"

"Sejak kapan kau berani bicara panjang lebar begitu?!"

"Ayah bisa dengarkan aku dulu, kan? Ayah sendiri tidak suka kalau seseorang menyela ucapan ayah-"

"Anak ini benar-benar!"

Ibu Jisun menenangkan suaminya, melirik Jisun agar gadis itu melanjutkan kalimatnya. Sebagai seorang ibu ada perasaan tersendiri melihat anak gadisnya yang sebelumnya tak berani berpendapat banyak tiba-tiba berkata soal isi pikirannya.

Terlalu tiba-tiba. Sejak kapan Jisun jadi berani membantah mereka?

"Mungkin bagi kalian apa yang dilakukan oppa tidak seperti kebiasaan keluarga ini, tapi bukankah itu menyenangkan? Aku mendapat banyak hal luar biasa selama bersama oppa, juga selama berteman dengan Gyuri eonni dan Jeno!"

"Hanya karena liburan kau bicara panjang lebar seperti itu dan membantah ayah-"

"Bukan."

"Apa?!"

Jisun menahan napasnya sejenak dan tersenyum samar, ia menyelipkan sedikit rambutnya kebelakang telinga. "Aku hanya minta untuk tidak mengaturku lagi, Ayah.."

"Kau sudah gila, hah?!!!" Ayah Jisun menggebrak keras meja makan itu, menatap nyalang ke arah Jisun. "Selama ini ayah berusaha mendidikmu dengan keras tapi ini balasanmu?!"

Senyum gadis itu menghilang, menunduk dengan wajah yang sedih dan kecewa.

"Kau anak kami satu-satunya, Jisun! Kau harus ingat itu!"

Sang ayah berdeham pelan, menenangkan dirinya setelah beberapa waktu sebelumnya emosi telah memenangi dirinya. Untuk kesekian kalinya ia harus berakhir membentak Jisun dan menyadarkan gadis itu akan posisinya.

"Jisun-"

"Ayah?" Jisun memberanikan dirinya lagi untuk menatap kedua orang tuanya. "Apa kalian tidak lelah?"

"Apa maksudmu?"

"Apa kalian tidak lelah terus hidup dibawah tekanan dan aturan?"

Jisun sungguh mengucapkannya, sebatas sebuah kalimat dengan nada suaranya yang datar dan dingin. Kedua orang tua itu sampai terbungkam, Ayah Jisun menggeram dengan mengepalkan tangannya kuat menahan marah.

"NOH JISUN?!"

"Aku lelah, Ayah.. Ibu.."

Keduanya tersentak, perlahan pula Ayah Jisun bisa menenangkan dirinya sekali lagi. Apalagi melihat Jisun menitikkan air mata di hadapan mereka, menunjukkan dengan ekspresi wajahnya yang sungguh merasa lelah.

"Aku tidak sesempurna yang kalian mau.. Aku lelah.. Aku tahu ini melelahkan jadi kumohon berhenti.. Apa hidup seperti ini sudah benar? Melakukan hal sepele saja aku harus menurut dengan aturan kalian.. Apa aku tidak boleh beristirahat setelah bekerja keras?"

Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi, seolah-olah ucapan Jisun tepat mengenai mereka. Iya, aturan mereka memang melelahkan. Sebagai keluarga terpandang tentu saja setiap perilaku yang mereka kerjakan harus mengikuti aturan, bahkan dari yang paling dasar.

"Dunia ini kejam, Jisun. Orang-orang saat ini saling menjatuhkan, dan selama ini didikan dari keluarga kita tidak pernah salah."

"Aku bahkan lebih takut pada kalian daripada mereka-"

PLAK

Suara tamparan itu terdengar sangat jelas, bahkan rasa panasnya telah menjalar pada pipi gadis itu. Semuanya bersamaan dengan rasa sakit dan kecewa dari apa yang telah terjadi barusan. Ibu Jisun menamparnya.

"Kau keterlaluan, Jisun!"

Ia tidak bisa menahan air matanya lagi. Ini lebih sakit dari mereka membentaknya. Ditampar oleh ibunya sendiri membuat hatinya hancur berkeping-keping.

"Kau ingat! Semua hal yang kau dapatkan ini dari kami, Jisun! Bagaimana bisa kau berkata hal kejam seperti itu?! Takut pada orang tuamu?! Memangnya kau bisa hidup tanpa kami?! Kau memang tidak tahu diri! Kalau bukan karena bantuan dari ayahmu, kau juga tidak akan bisa membangun restoran dan memulai kariermu! Pikirkan itu!"

Jisun tidak tahu harus merespon apa. Setiap kalimat itu menancap sampai dasar hatinya. Sebenarnya apa niat orang tuanya? Apa memang seperti itu cara orang tua menghargai anak mereka? Apa ini benar? Mengapa Jisun sama sekali tidak merasakan kasih sayang yang mereka selalu katakan?

Demi kebaikannya?

"Kalau kau sudah selesai menyampaikan yang ingin kau sampaikan, segera kembali ke kamarmu! Ayah tidak mengizinkanmu keluar sampai beberapa hari, termasuk untuk mendatangi liburan yang kau bicarakan itu! Urusan restoranmu biar ayah yang-"

"Tidak mau."

"Kau tahu akibatnya kalau-"

"Lebih baik begitu, kan?"

Jisun menunduk, memundurkan kursi dengan suara yang keras dan berdiri. Ia membungkukkan badan sebagai bentuk salam terakhirnya.

"Kalau dengan kalian membuangku bisa membuatku bebas, aku tidak akan masalah, Ayah.. Ibu..." Jisun menarik napasnya, masih ingin menyampaikan hal terakhir sebelum ia benar-benar pergi.

"Karena kalian sudah kehilangan aku, maka kalau kalian ingin merampas semua yang sudah kalian beri, aku persilahkan.."

***

To be Continue


---

Selamat malam semua!! Oh ya, selamat tahun baru yang telat hampir 3 hari wkwk

Gimana hari kedua di tahun 2021 ini? Kira2 apa yang belum sempat terwujud di tahun lalu?

Nggak banyak yg aku sampaikan tapi terima kasih sudah nemenin aku sampai detik ini, dengan tulus aku sampaikan terima kasih pada kalian!! Kira-kira apa harapan kalian untuk aku di tahun ini? Ehehe

Oh ya, jaga kesehatan kalian, corona masih nggak mau enyah jadi jangan bosen2 pakai masker, kalau nggak harus keluar di rumah aja ya? Jaga pola makan dan hidup sehat, soalnya di dunia ini penyakit nggak cuma karena corona yg lagi hits huhu... Semoga tahun ini semua yang baik bisa selalu menyertai kita ya, aamiin

Akhir tahun sama awal tahun banyak kejadian yang nggak terduga, jadi, kuat-kuat kita semua!!! Sampai ketemu chapter berikutnya!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen3h.Co